TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menata ulang regulasi konglomerasi keuangan dengan menerbitkan Peraturan Nomor 45 Tahun 2020 pada 16 Oktober lalu. Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan di tengah kondisi perekonomian yang rentan dan penuh ketidakpastian akibat pandemi Covid-19, urgensi redefinisi konglomerasi keuangan semakin tinggi.
“Kami akan melihat lebih detil kondisi perusahaan konglomerasi terutama yang bisa menimbulkan spillover terhadap industri keuangan,” ujar Wimboh, Kamis 29 Oktober 2020.
Konglomerasi keuangan di Indonesia memiliki transmisi dan eksposure di beragam sektor, seperti perbankan, asuransi, pasar modal, dan sub sektor lainnya di luar industri keuangan yang saling berkaitan. “Apalagi kalau konglomerasi tersebut juga punya usaha manufaktur, sehingga jika ada potensi risiko spillover ke industri keuangan nantinya akan bisa dideteksi lebih dini,” katanya.
Berdasarkan beleid anyar tersebut, otoritas menetapkan kriteria konglomerasi keuangan yaitu memiliki total aset grup atau kelompok minimal Rp 100 triliun dan berkegiatan di lebih dari satu jenis lembaga jasa keuangan.
Meski demikian, OJK dimungkinkan untuk menetapkan dengan sendirinya dua atau lebih LJK yang berada dalam satu grup konglomerasi keuangan, walau tak memenuhi ketentuan aset minimal yang ditetapkan. Adapun hubungan antar lembaga jasa keuangan yang dimiliki dan dikendalikan langsung oleh pemerintah pusat dikecualikan dari pengertian konglomerasi keuangan.