Tantri sangat menyayangkan surat ini dilayangkan secara sepihak dan tiba-tiba. Sebelumnya, tidak ada informasi satupun dari manajemen bahwa mereka akan diputus kontrak secara permanen, pada 26 Oktober 2020. "Tidak ada musyawarah apapun," ujarnya.
Sebagian karyawan kemudian menolak pemutusan kontrak ini dan IKAGI sedang membantu membicarakannya dengan manajemen perusahaan. Tantri menyerahkan urusan ini kepada IKAGI sepenuhnya. "Mereka pasti maju paling depan," ujarnya.
Sebelumnya, per 17 Mei 2020, salah satu kelompok serikat pekerja di Garuda, yaitu Ikatan Awak Kabin Garuda Indonesia (IKAGI), membenarkan informasi ini. Menurut asosiasi, ada sekitar 400 orang pramugari dan pramugara yang harus menerima kebijakan unpaid leave.
"Tidak diberikan gaji dan uang terbang," kata Ketua Umum IKAGI Zaenal Muttaqin. Tempo mencoba menghubungi kembali Zaenal soal pemutusan kontrak 700 karyawan ini, tapi belum direspons.
Akan tetapi, kalaupun keputusan Garuda sudah bulat dan perusahaan memang sudah sekuat tenaga mempertahankan pegawainya, maka Tantri berharap ada perlakuan yang adil buat mereka yang kena pemutusan kontrak.
Dalam surat elektronik, manajemen perusahaan sudah merinci hak-hak keuangan yang didapat oleh 700 karyawan tersebut. Kini, Tantri dan kawan-kawan sedang mencocokkan, apakah sudah sesuai dengan aturan dan perjanjian atau tidak. Harapan terbesar Tantri adalah pembayaran hak-hak itu dilakukan secara penuh, tidak dicicil.
Walau kini sudah diputus kontrak oleh Garuda, kecintaan Tantri terhadap perusahannya tiada luntur. Ia tetap mendoakan bisnis Garuda yang kini dihantam Covid-19, segera bisa bangkit kembali.
Ketika situasi sudah normal dan Garuda Indonesia membutuhkan awaknya, Tantri menyebut, dirinya dan kawan-kawan lain siap untuk bergabung kembali ke perusahaan. "Kami pegawai Garuda sangat mencintai perusahaan ini," kata Tantri.
Baca: Garuda Indonesia Putus Kontrak Kerja 700 Pegawai Mulai 1 November 2020