“Bagaimanapun DNA dari pusat perbelanjaan ini kan penjualan offline, jadi ini perlu diperkuat. Konsumen yang merupakan makhluk sosial yang membutuhkan interaksi, ini kesempatan yang harus dieksplorasi dan pengalaman ini tidak diberikan dari belanja daring,” kata dia.
Mengutip laporan Global Retail Development Index 2019 yang diterbitkan oleh Kearney, firma konsultan yang berbasis di Amerika Serikat, bisnis retail Indonesia menempati peringkat ke-5 dengan nilai 58,7 atau naik tiga peringkat dibandingkan dengan 2017. Di antara negara Asia, peringkat Indonesia berada di bawah Cina, India, dan Malaysia.
Dari sejumlah aspek yang menjadi dasar perhitungan, Indonesia dipandang sebagai pasar yang cukup stabil dengan risiko bisnis dan daya tarik pasar yang menjanjikan. Dengan jumlah penduduk mencapai 265 juta jiwa, penjualan ritel diperkirakan mencapai US$ 396 miliar.
Ketua Umum DPP Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah tak mengelak bahwa 2019 menjadi momentum tumbuhnya retail Tanah Air seiring kemunculan gerai-gerai makanan dan minuman dengan orientasi gaya hidup seperti kafe dan restoran.
Sayangnya, motor pertumbuhan ini jugalah yang mengakibatkan kondisi selama pandemi lesu lantaran aktivitas dan mobilitas yang dibatasi.
“2019 itu tahun shifting mengikuti perilaku konsumen yang sudah mengarah ke gaya hidup, jadi banyak ritel FnB yang muncul. Namun saat pandemi kegiatan berkumpul dibatasi,” kata Budiharjo saat dihubungi.
Dengan model penjualan yang bertumpu pada aktivitas dan mobilitas, Budihardjo mengatakan industri retail tak bisa menghindari dampak Covid-19. Penutupan sebagian gerai pun dipilih sebagai opsi efisiensi.
BISNIS