TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Universitas Indonesia FaisalBasri meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk tak memaksakan pelaksanaan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja hanya untuk menggenjot investasi masuk ke Tanah Air.
Pasalnya, dari kacamata Faisal Basri, pemerintah sebelumnya sudah berada di jalur yang tepat dalam melakukan sejumlah pembenahan perbaikan birokrasi untuk mengundang para investor datang dan berbisnis di Indonesia. Hal ini terbukti dari perbaikan peringkat Kemudahan Berbisnis (Ease of Doing Business atau EODB) Indonesia yang dirilis oleh Bank Dunia dalam beberapa tahun terakhir.
Pemerintah, kata Faisal, hanya perlu memperbaiki sejumlah hal dalam penerapan paket kebijakan-paket kebijakan yang sudah dikeluarkan sebelumnya. "Tanpa perlu adanya bom atom yang namanya Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja, kemudahan berbisnis di Indonesia akan mengalami perbaikan luar biasa," ujarnya seperti dikutip dari siaran video di YouTube CokroTV, Jumat, 23 Oktober 2020.
Dalam video berjudul "Ayo Jokowi, Kembali ke Jalur yang Benar!" dan berdurasi 14 menit 38 detik ini, Faisal Basri yakin bahwa dengan pembenahan kebijakan yang ada, revolusi berbisnis akan membuat Indonesia masuk ke dalam peringkat 30 besar EODB tersebut.
Hanya dengan melakukan serangkaian upaya terukur, pemerintah harus kembali menetapkan sejumlah langkah dengan jelas berikut prioritas apa saja yang wajib didahulukan. "Saya ingatkan, kita sudah punya cukup senjata tanpa harus bom atom. Ayo pak Jokowi, kembali ke jalur yang dibangun. Tujuan sudah dekat, jangan pindah jalur yang belum tentu lebih cepat dan lebih aman," kata Faisal Basri.
Faisal menjelaskan, di periode pertama pemerintahannya, Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika diangkat pada 2014, peringkat EODB Indonesia ada di urutan 120. "Jelek sekali posisinya, jauh tercecer, dibanding Singapura nomor 1, Malaysia keenam, Thailand ke-18, Brunei ke-59, dan Vietnam di 99," ujarnya.
Namun selama periode pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla sudah banyak hal dilakukan. Ada 16 paket kebijakan dalam 2 tahun, terhitung dari 9 September 2015 hingga 31 Agustus 2017. Hingga akhir periode jabatan pertama, hampir semua program dan target terlaksana dan hasilnya nyata.