TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan berbagai jenis pembiayaan alternatif akan terus dilakukan pada 2021. Salah satu yang dilakukan adalah konversi utang dengan Asian Development Bank (ADB) dengan mata uang yang lebih menarik.
"Mungkin bisa mengurangi, misalnya beban cost of fund kita cukup material," kata Luky dalam konferensi pers APBN Kita pada Senin, 19 Oktober 2020.
Sejauh ini, kata Luky, utang pemerintah ke ADB yang sudah dikonversi mencapai US$4,1 miliar atau setara Rp60,4 triliun (kurs Rp14.740 per 19 Oktober 2020). "Ini akan kami teruskan dengan kredibel, hati-hati, dan prudent," kata dia.
Selama ini, terutama di masa pandemi Covid-19, ADB menjadi salah satu kreditur bagi Indonesia. Pada 23 September 2020, ADB menyetujui utang senilai US$500 juta untuk pendanaan darurat menangani bencana alam atau wabah seperti Covid-19.
Wakil Presiden ADB Ahmed M Saeed mengatakan pinjaman ketahanan bencana ini bermanfaat karena Indonesia berada di jalur Cincin Api Pasifik dan sangat rentan terhadap gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, tanah longsor, banjir, dan kekeringan, dan kini wabah Covid-19.
"Pinjaman berbasis kebijakan ini akan membantu pemerintah merespons secara tepat waktu terhadap guncangan semacam itu serta mengurangi dampak ekonomi dan sosial terhadap infrastruktur publik dan mata pencaharian masyarakat, terutama kelompok miskin dan perempuan," katanya, Rabu 23 September 2020.
Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga mengatakan bahwa pelebaran defisit anggaran di Indonesia akibat pandemi, memerlukan sumber pembiayaan baru. Sejak April 2020, Indonesia sudah mulai mengakses pembiayaan dari pasar keuangan global.
"Kami beruntung, masih bisa mengakses, meskipun dalam kondisi pasar yang turbulensi," kata Sri Mulyani dalam forum bersama pimpinan International Monetary Fund (IMF), hingga European Centra Bank (ECB), 15 Oktober 2020.
Baca juga: Sri Mulyani Bandingkan Utang Indonesia dan Negara Lain
FAJAR PEBRIANTO