TEMPO.CO, Jakarta - Departemen Perdagangan Amerika Serikat (US Department of Commerce atau USDOC) resmi mengeluarkan putusan akhir penyelidikan anti subsidi terhadap produk menara angin (wind tower) asal Indonesia pada 29 Juni 2020. Hasilnya, produk wind tower asal Indonesia tetap dikenai bea masuk subsidi dengan margin sebesar 5,9 persen.
Komponen terbesar dari margin tersebut, sebesar 5,7 persen berasal dari subsidi hulu (upstream subsidy), yaitu subsidi yang menurut USDOC terkandung dalam produk cut to length steel plate (CTL) produksi dalam negeri yang merupakan bahan baku utama wind tower. Margin lainnya sebesar 0,17 persen dan 0,03 persen dihitung USDOC dari subsidi listrik dan pembebasan Pajak Penghasilan atau PPh Impor.
“Indonesia sebenarnya dapat memenangkan kasus ini tanpa diterapkannya bea masuk subsidi jika pihak otoritas AS berlaku adil dengan tidak memasukkan unsur upstream subsidy,” ujar Menteri Perdagangan Agus Suparmanto dalam keterangan resmi Kementerian Perdagangan Indonesia pada Jumat, 16 Oktober 2020.
Akan tetapi, Kemendag menyebut hasil akhir ini jauh lebih baik dari hasil sementara (preliminary determination) yang ditetapkan USDOC pada 6 Desember 2019 lalu. Pada saat itu, margin subsidi yang ditetapkan mencapai 20,29 persen.
Dari total margin ini, 20,09 persen disebabkan anggapan USDOC terkait adanya kebijakan Indonesia kepada produsen bahan baku CTL untuk menjual produk mereka di bawah harga wajar (less than adequate remuneration) kepada produsen wind tower dalam negeri. Hal inilah yang dijadikan alasan USDOC untuk melakukan pembandingan (benchmarking) harga CTL dengan sumber lain yang dianggap wajar.
Walhasil, pembandingan harga ini menyebabkan margin subsidi melambung tinggi. Tak terima dengan hal itu, Indonesia kemudian membantah tuduhan tersebut melalui on site verification pada 4 sampai 5 Maret 2020. Selain itu, Kemendag juga menyampaikan argumen lanjutan dalam legal dan rebuttal brief pasca verifikasi.