TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Keuangan menyampaikan bahwa Indonesia membutuhkan setidaknya US$ 247,2 miliar atau setara Rp 3,6 kuadriliun (kurs Rp 14.760 per dolar Amerika Serikat) untuk menghadapi target National Detemined Contributions (NDC) pada 2030. NDC merupakan poin utama dalam Kesepakatan Paris 2016 untuk mengurangi emisi dan dampak beradaptasi pada perubahan iklim.
"Sekitar US$ 19 miliar (Rp 280 triliun) per tahun," tulis Kemenkeu dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat, 16 Oktober 2020. Estimasi kebutuhan ini mengacu pada laporan update biennial kedua tahun 2018.
Dalam 5 tahun terakhir (2016 hingga 2020), Kemenkeu melaporkan total pembiayaan yang sudah berhasil dicapai baru 34 persen saja. Sehingga, masih ada sisa sekitar 66 persen lagi.
Dalam rilis tersebut, Kemenkeu menyebut Indonesia membutuhkan pembiayaan dari sektor swasta. Swasta dinilai memegang peran kunci dalam pengembangan dan implementasi proyek iklim karena keahlian khusus sektor, teknologi, efisiensi, pembiayaan, dan kewirausahaan.
Meskipun demikian, sektor swasta pun disadari masih harus menghadapi berbagai hambatan, antara lain regulasi dan pasar keuangan yang belum berkembang. Untuk itu, pemerintah memberikan fasilitas yang menguntungkan bagi swasta.
Salah satunya seperti insentif fiskal untuk meningkatkan pembangunan rendah karbon. Termasuk, pendanaan geothermal untuk menangani risiko keuangan akibat eksplorasi. Kini, Peraturan Presiden tentang penetapan harga karbon dan harga pembelian pembangkit energi terbarukan pun sedang dalam proses penyusunan.
FAJAR PEBRIANTO
Baca juga: Menlu Retno Sebut 3 Perusahaan Inggris Berminat Investasi di Sektor Energi