"Amdalnya saja yang dipangkas, (prosesnya) tidak lama. Karena apa? Karena mengurus Amdal itu bisa satu tahun enam bulan. Pabrik di Vietnam sudah produksi, kita Amdalnya belum selesai," katanya.
Saat ini, ia memastikan semua perizinan juga terintegrasi lewat sistem layanan terpadu atau Online Single Submission (OSS) untuk mendorong adanya transparansi, efisiensi, mengurangi korupsi serta memangkas birokrasi yang panjang.
"Dan yang penting ialah dengan UU ini diwajibkan kepada seluruh investor baik dalam dan luar negeri yang masuk ke Indonesia, wajib bergandengan dengan UMKM. Itulah mengapa saya katakan UU ini proUMKM," katanya.
Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi mengkritik penghapusan Komisi Penilai Analisis Dampak Lingkungan dalam UU Cipta Kerja. Komisi Penilai Amdal ini sempat diatur dalam Pasal 29 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Komisi ini dibentuk oleh kepala daerah setempat. Enam unsur ada di dalamnya yaitu dua dari pemerintah, dua dari tim pakar, dan satu wakil masyarakat yang berpotensi terdampak, dan organisasi lingkungan hidup.
Dalam UU Cipta Kerja, pasal tersebut dihapus. Sebagai gantinya, ada tim uji kelayakan yang dibentuk oleh Lembaga Uji Kelayakan Pemerintah Pusat. Hanya ada tiga unsur yaitu pemerintah pusat, daerah, dan ahli bersertifikat.
Komposisi tim uji kelayakan ini dikritik oleh Walhi karena tidak melibatkan unsur masyarakat, yang sebelumnya ada di Komisi Penilai Amdal. Kondisi ini, kata Direktur Eksekutif Walhi Nur Hidayati, akan menghilangkan ruang untuk menjalankan partisipasi yang hakiki. "Berpeluang membuka paritisipasi semu yang manipulatif," kata dia.
ANTARA I FAJAR PEBRIANTO
Baca juga: Omnibus Law Hapus Komisi Penilai Amdal, Walhi Ungkap Dampaknya