TEMPO.CO, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi menilai UU Cipta Kerja merupakan dukungan pemerintah secara terbuka terhadap investor. Walhi khawatir isi omnibus law itu menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia.
“Investor mendapat karpet merah untuk terus melakukan operasinya,” kata Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati, dalam diskusi virtual bertajuk 'Menakar Komitmen Perlindungan Negara bagi Pembela Lingkungan Hidup dan HAM’, Selasa, 13 Oktober 2020.
Menurut Hidayati, dalam UU Cipta Kerja terdapat dua hal yang secara langsung melanggengkan praktik oligarki dan korporasi. Pertama adanya impunitas dari korporasi yang melakukan pelanggaran hukum terkait lingkungan. "Dalam UU Cipta Kerja (investor) memiliki potensi untuk tidak dijerat secara hukum. Malah kemudian kejahatan-kejahatan itu bisa diputihkan," kata dia.
Ia mencontohkan terkait kawasan perkebunan sawit dalam kawasan hutan serta kebakaran-kebakaran hutan yang dilemahkan. Sedangkan faktor kedua, menurut Hidayati, adanya pembatasan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi itu meliputi terlibat dalam proses analisis dampak lingkungan (amdal) maupun konsultasi dalam proses tata ruang dan lainnya. “Yang ini dikurangi dalam UU Cipta Kerja,” tutur dia.
Hidayati menilai negara beserta aparat lebih banyak berpihak terhadap kepentingan ekonomi. Kepentingan yang diwakili korporasi, industri ekstraktif, maupun proyek pemerintah yang dianggap memajukan bangsa Indonesia. “Seperti proyek infrastruktur, proyek strategis nasional,” ucap Hidayati.
UU Cipta Kerja menuai protes keras dari mahasiswa, pakar hukum, buruh, serta organisasi masyarakat di berbagai daerah. Polemik omnibus law Cipta Kerja ini memuncak pasca disahkan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai undang-undang pada 5 Oktober 2020.
IHSAN RELIUBUN