Sejak awal proses penyusunan, kata Piter, stigma negatif sebenarnya sudah lahir dari Omnibus Law ini. Tapi ternyata sepanjang penyusunan tidak diredam oleh pemerintah. "Ketika disahkan, stigma itu meledak," kata dia.
Piter mengatakan masih ada waktu untuk memperbaiki proses yang ada. Ia menyarankan agar pembentukan aturan turunan dari Omnibus Law ini tidak dilakukan secara buru-buru. "Jalan bareng merangkul semua pihak," kata dia.
Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri pun ikut dalam acara ini, Semua Emrus dan Piter, Yose pun menyinggung persoalan komunikasi pemerintah dalam Omnibus Law.
"Kelihatannya pemerintah sekarang tidak belajar dari pengalaman subsidi BBM," kata dia. Sebelumnya, pemerintah telah beberapa kali menerapkan kebijakan pencabutan subsidi ini.
Menurut Yose, ini adalah salah satu contoh sukses menerapkan kebijakan yang kontroversial. Lantaran sebelumnya, pemerintah sudah gencar memberikan pembelajaran ke publik bahwa subsidi BBM itu tidak tepat sasaran.
Sehingga bisa berjalan lancar saat akan diterapkan. Terlebih, pencabutan subsidi juga sempat dilakukan saat harga minyak dunia sedang turun. "Harusnya dari awal, bisa belajar dari itu," kata dia.
Ketika dihubungi, Raden Pardede membenarkan acara sosialisasi ini dan mengatakan memang ada penguatan komunikasi untuk menjelaskan Omnibus Law yang sudah disahkan. "Kami akan melanjutkan komunikasi publik ke depan," kata dia.
Bahkan, Raden menyebut pemerintah juga akan melibatkan akademisi untuk ikut aktif dalam mengawal pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) dari Omnibus Law. Sesuai dengan Pasal 185 Omnibus Law, PP maupun Peraturan Presiden (Perpres) sebagai pelaksana Omnibus Law wajib ditetapkan paling lama tiga bulan.
Baca: Kewajiban 30 Persen Hutan Hilang di Omnibus Law, Menteri LHK: Justru Lebih Ketat