Adapun empat alasan lainnya adalah sebagai berikut:
1. Proses penyusunan yang tidak transparan dan minim partisipasi publik.
Dalam Omnibus Law, tiga regukasi ikut terdampak yaitu UU Perikanan, UU Kelautan, dan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Tapi, Iskindo menilai penyusunan Omnibus Law ini tidak pernah secara terbuka melibatkan stakeholder kelautan dan perikanan.
2. Kealpaan pengaturan pidana perikanan bagi korporasi.
Selama ini, Iskindo mengatakan pidana korporasi menjadi salah satu kelemahan UU Perikanan. Terutama dalam penanggulangan Illegal, Unreported, Unregulated Fishing (IUUF) di Indonesia. Tapi sanksi pidana yang selama ini lemah, ternyata tidak diatur dalam Omnibus Law.
3. Inkonsistensi rezim pengelolaan pesisir.
Iskindo menyatakan, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 bahwa mekanisme Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) telah mengurangi hak penguasaan negara atas Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Ketentuan mengenai HP-3 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan diubah menjadi mekanisme perizinan. Sehingga UU 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir diubah menjadi UU 1 Tahun 2014, dari HP-3 diubah menjadi Izin Lokasi.