Sebaliknya, bagi daerah yang luas kawasan hutannya di bawah 30 persen, maka UU Kehutanan memerintahkan agar dilakukan penambahan luas.
4. Dinilai Tidak Relevan
Tapi para penyusun Omnibus Law punya alasan lain. Alasan penghapusan kewajiban 30 persen ini tertuang dalam naskah akademik Omnibus Law halaman 1347.
"Kewajiban mempertahankan kawasan hutan minimal 30 persen ini sudah tidak relevan dengan perkembangan saat ini mengingat di Pulau Jawa sendiri, kawasan hutan sudah kurang dari 30 persen"
5. Mengikuti Kebutuhan
Oleh karena itu, naskah akademik ini menuliskan perlunya penetapan kawasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk setiap provinsi. Sehingga tidak berpatokan pada kewajiban 30 persen ini. "Mengikuti kebutuhan masing-masing provinsi," demikian tertulis di dalamnya.
6. Sempat Ditolak Fraksi
Di dalam pembahasan, yaitu pada 23 September 2020, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) mencatat bahwa sempat terjadi penolakan oleh fraksi-fraksi di DPR. Sebagian anggota DPR meminta syarat minimal 30 persen ini tetap dipertahankan.
Tapi, Walhi dan ICEL menyebut pemerintah tetap menegaskan bahwa angka 30 persen ini tak lagi relevan karena kondisi setiap daerah yang berbeda. "Rumusan akhir tetap tidak berubah (syarat 30 persen hilang)," kata Direktur Eksekutif Walhi Nur Hidayati dalam keterangan resmi pada Kamis, 8 Oktober 2020.
7. Resmi Hilang
Dengan demikian, hilanglah kewajiban 30 persen yang sudah ditetapkan lebih dari dua dekade ini. Dalam Pasal 18 Omnibus Law, juga telah ditambahkan satu ayat penegasan yang berbunyi:
"Ketentuan lebih lanjut mengenai luas kawasan hutan yang harus dipertahankan, termasuk pada wilayah yang terdapat Proyek Strategis Nasional (PSN) diatur dengan PP"
Rabu kemarin, pemerintah sempat mengadakan konferensi pers menjelaskan soal Omnibus Law ini. Tapi dalam paparannya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar sama sekali tidak menyinggung perkara hilangnya kewajiban 30 persen kawasan hutan ini.
Baca: Sri Mulyani Blakblakan Jelaskan Soal 'Klaster Selundupan' dalam UU Cipta Kerja