TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Perkumpulan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) Syarifudin Yunus menilai disahkannya Undang-Undang atau UU Cipta Kerja merupakan realitas legislatif yang telah terjadi. Namun, dampaknya bagi industri DPLK baru terlihat setelah draft resmi diundangkan.
Menurutnya, penyusunan aturan turunan, baik berupa Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres) terkait program pensiun dan pesangon pekerja harus dikawal dengan seksama agar tidak menjadi petaka bagi persiapan pensiun para pekerja.
"Menurut saya aturan turunan itu harusnya mengatur pendanaan pesangon oleh pemberi kerja, sehingga tidak jadi masalah di pekerja. Selama ini memang kesadaran pemberi kerja juga masih harus ditingkatkan, baik soal pensiun maupun pesangon," ujar Syarif kepada Bisnis, Selasa, 6 Oktober 2020.
Dia menilai UU Cipta Kerja tersebut harus mengaitkan perlindungan para pekerja dengan program pensiun dan pesangonnya. Saat ini, meskipun secara prinsip masih terdapat pemberian manfaat pesangon, tetapi nilainya menurun.
Mulanya, berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerja akan mendapatkan pesangon senilai 32,2 kali upah, tetapi dalam UU Cipta Kerja nilainya turun menjadi maksimal 25 kali upah. Pembayaran itu pun 19 kalinya ditanggung pemberi kerja dan 6 lainnya dari program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
"Kita perlu menunggu aturan turunan dari UU Cipta kerja, seperti apa? Secara industri dana pensiun, intinya program pensiun seperti DPLK masih sangat diperlukan untuk pekerja di manapun, karena faktanya tidak lebih dari 6 persen pekerja di Indonesia yang sudah punya program pensiun," ujarnya.