Oleh karena itu, menurut Timboel, ada kemungkinan pemerintah daerah akan mengacu ke besaran upah yang terkecil. Dia mengibaratkan pemerintah Kabupaten B yang semula memiliki UMK Rp 4,5 juta kemudian akan mengacu ke UMP yang senilai Rp 2 juta.
Bila hal itu terjadi, meski pekerja eksisting tidak akan dipangkas gajinya, tetapi upah yang lebih kecil berpotensi diterapkan kepada pekerja baru. Selain itu, ada risiko PHK pekerja lama agar bisa digantikan oleh pekerja baru dengan upah lebih rendah.
Dengan begitu, menurut Timboel, perolehan iuran dari segmen PPU akan berkurang, karena besaran iuran dihitung berdasarkan persentase terhadap gaji. Kondisi itu menjadi penting karena segmen PPU merupakan sumber iuran terbesar kedua setelah Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang berasal dari uang negara.
"Kalau upah minimum turun kan berarti perolehan iuran PPU akan turun, sedangkan pembiayaan kesehatan kan tetap tinggi karena bergantung kepada inflasi dan sebagainya. Artinya kan bisa terjadi defisit," ujar Timboel.
Atas sejumlah alasan itu, menurut Timboel, pemerintah harus mempertimbangkan dengan benar-benar matang dampak dari pengesahan RUU Cipta Kerja terhadap keberlangsungan JKN. Aturan yang ada menurutnya harus berpihak kepada masyarakat banyak, bukan hanya dari sisi perekonomian tetapi juga jaminan sosial yang bersifat fundamental.
Potensi terjadi defisit besar, kata Timboel, karena pemasukan nomor duanya turun, peserta berpotensi berkurang. "Jangan sampai tahun ini surplus Rp 2,5 triliun tapi setelahnya (RUU Cipta Kerja) berlaku jadi defisit lagi."
BISNIS
Baca: Pemerintah Klaim Ada 9 Manfaat Utama RUU Cipta Kerja Bagi Masyarakat