TEMPO.CO, Jakarta - Politikus Partai Demokrat Hinca Pandjaitan menyebutkan sedikitnya ada tiga catatan kritis terkait Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja). Oleh karena itu, Fraksi Demokrat menilai tidak perlu terburu-buru dalam pembahasan RUU Cipta Kerja.
"Kami menyarankan dilakukan pembahasan lebih utuh dan melibatkan berbagai stakeholder yang berkepentingan," kata Hinca dalam Rapat Kerja Baleg bersama pemerintah dan DPD RI, di Kompleks Parlemen, Sabtu malam, 3 Oktober 2020.
Hinca menyebutkan catatan kritis pertama yang dimaksud adalah ketidakadilan di ketenagakerjaan, seperti aturan prinsip no work no pay oleh pengusaha karena upah dibayar berdasarkan satuan waktu kerja per jam. Hinca juga mengkritisi aturan mengenai hak pekerja atas istirahat selama dua hari dalam sepekan yang dihilangkan karena 40 jam dalam satu pekan dikembalikan dalam perjanjian kerja.
"RUU ini juga mengandung sistem easy hiring but easy firing," kata Hinca. Ia mencontohkan, ketentuan mengenai pekerja kontrak dan outsourcing yang dilonggarkan secara drastis juga menyebabkan pekerja kesulitan mendapatkan kepastian hak untuk menjadi pekerja tetap.
Adapun catatan kritis kedua terkait sektor lingkungan hidup dan pertanahan. RUU Cipta Kerja, kata Hinca, berpotensi memunculkan dampak mengkhawatirkan bagi sektor pertanahan karena melegalkan perampasan lahan sebanyak dan semudah mungkin untuk Proyek Prioritas Pemerintah dan Proyek Strategis Nasional yang pelaksanaannya dapat diserahkan kepada swasta.
Sementara dalam masalah lingkungan hidup, RUU Cipta Kerja memberi kemudahan syarat pembukaan lahan untuk perusahaan di berbagai sektor dan pengadaan lahan di bawah lima hektare. "Padahal untuk wilayah perkotaan padat penduduk seperti Jakarta, Surabaya dan lainnya, luas lima hektare dapat ditinggali oleh ratusan kepala keluarga. Akibat pengaturan ini, penggusuran paksa dengan skala kecil sangat mudah dilakukan pemerintah daerah," kata Hinca.