Dalam laporan itu, total aset kredit eks BPPN dalam bentuk dolar senilai US$ 617,4 juta atau sekitar Rp 9,26 triliun. Namun yang dilunasi hanya senilai US$1,7 juta atau di kisaran 0,28 persen dari total utang. Di sisi lain, terkait pengelolaan piutang BLBI, BPK juga masih menemukan pengelolaan jaminan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) belum maksimal dengan nilai mencapai Rp 17,03 triliun.
Lebih jauh Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Isa Racmatarwata menyebutkan peningkatan jumlah piutang negara tidak disertai dengan kecepatan pemerintah dalam menagih piutang.
Walhasil, total piutang tak tertagih setiap tahun terus membengkak. Dari data yang dimilikinya diketahui total piutang bruto negara hingga 2019 sebanyak Rp 297,9 triliun.
Adapun penyisihan piutang tak tertagih sebanyak Rp 187,2 triliun, atau setara dengan 62,8 persen dari jumlah piutang bruto. Sementara total piutang bruto senilai Rp 297,9 triliun itu terdiri dari piutang pajak senilai Rp 94,6 triliun dan piutang bukan pajak senilai Rp 166,2 triliun.
Isa menjelaskan, piutang tak tertagih merupakan piutang yang tidak bisa dibayar debitur sampai dengan waktu yang ditentukan. Karena tak tertagih, piutang itu akan masuk ke kualitas penyisihan.
"Dalam penyisihan ada kriteria, kalau dia kurang lancar, disisihkan. Kalau macet dan sudah diserahkan ke PUPN, itu sudah 100 persen," kata Isa, Jumat, 2 Oktober 2020.
Adapun penyebab piutang tak tertagih, menurut Isa, dapat bermacam-macam bentuk. Karena terbentuknya piutang itu sangat bervariasi, tidak seragam. "Tapi penyisihan itu jangan diartikan tidak perlu dibayarkan, itu teknis akuntansi," ucapnya.
BISNIS
Baca: Sri Mulyani: Sudah 20 Tahun Lebih Utang BLBI Belum Lunas