TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Peraturan Perpajakan 1, Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Arif Yanuar, memberikan penjelasan soal 8 aturan dalam UU Bea Meterai yang baru. UU ini baru disahkan di DPR pada Selasa kemarin, 29 September 2020.
Berikut 8 ketentuan baru tersebut:
1. Objek
UU Bea Meterai dikenakan atas dokumen elektronik, tidak hanya kertas. Pengaturan ini muncul karena saat ini sudah banyak terjadi peralihan dari kertas ke elektronik.
"Untuk saat ini belum terjangkau oleh UU yang lama (UU Nomor 13 Tahun 1985)," kata Arif dalam konferensi pers di Ditjen Pajak, Jakarta, Rabu, 30 September 2020.
2. Tarif dan Batas Nilai Nominal
Dalam poin ini ada tiga ketentuan utama. Pertama, Tarif yang ditetapkan adalah tarif tunggal Rp 10.000, lebih mahal dari tarif yang berlaku sejak tahun 2000 sampai saat ini, yaitu Rp 3.000 hingga Rp 6.000.
Kedua, Batas nominal yang dikenai tarif meterai Rp 10.000 hanya untuk dokumen yang bernilai uang di atas Rp 5 juta. Di bawah itu, tidak kena bea meterai.
Batasan ini lebih longgar dari UU yang lama. Pada UU Nomor 13 Tahun 1985, yang tidak kena tarif hanya dokumen dengan nilai transaksi di bawah Rp250 ribu.
Untuk dokumen senilai Rp 250 ribu sampai Rp 1 juta, kena tarif bea meterai Rp 3.000. Lalu di atas Rp 1 juta, kena tarif Rp 6.000.
Ketiga, UU baru mengatur tarif tetap yang berbeda. Arif menyebut kebijakan ini bertujuan untuk melaksanakan program pemerintah dan mendukung pelaksanaan kebijakan moneter dan sektor keuangan.
Arif belum merinci tarif tetap yang berbeda ini. Menurut dia, ketentuan detail akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). "Yang dalam penyusunannya akan berkonsultasi dengan DPR," kata dia.
3. Saat Terutang
UU baru mengatur soal dokumen elektronik. Sehingga, bakal ada ketentuan rinci mengenai penerapan bea meterai di setiap jenis dokumennya.