TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo menyampaikan sejumlah latar belakang di balik kenaikan tarif bea materai menjadi Rp 10.000. Salah satunya, karena harga materai saat ini sudah tidak relevan, karena sudah berlaku sejak tahun 2000.
"Sudah 20 tahun tidak naik," kata Suryo dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu, 30 September 2020.
Kemarin, Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR resmi mengesahkan Rancangan Undang-undang Bea Meterai. Dengan undang-undang yang baru, tarif bea meterai resmi menjadi Rp 10.000 per 1 Januari 2021.
“Berdasarkan pendapat akhir, sebanyak delapan fraksi, yakni PDIP, Golkar, Gerindra, NasDem, Demokrat, PPP, PAN, dan PKB setuju terhadap Rancangan Undang-undang Bea Materai,” ujar Ketua Komisi XI DPR, Dito Ganundito, dalam rapat paripurna masa persidangan I 2020, Selasa, 29 September 2020.
Dirjen Pajak Suryo Utomo mengataka,n aturan awal soal bea materai diatur lewat UU Nomor 13 Tahun 1985, atau 35 tahun lalu. Saat itu namanya adalah kertas bersegel atau bermaterai dengan tarif sebesar Rp 500 dan Rp 1.000.
Lima belas tahun kemudian, yaitu pada 2000, tarif materai naik menjadi Rp 3.000 dan Rp 6.000. Tarif baru ini diatur lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2000. Tarif baru ini lahir karena maksimum kenaikan yang diperbolehkan adalah maksimum 6 kali lipat.
Barulah pada 2020 ini tarif materai kembali naik. Sebenarnya saat ini ada dua jenis materai, Rp 3.000 dan Rp .6000. Tapi, pemerintah dan DPR sepakat untuk menyeragamkan saja menjadi satu yaitu Rp 10.000.
Suryo menilai tarif Rp10.000 ini tidak terlalu mahal jika dibandingkan dengan inflasi sejak 2000. "Masih tergolong, cukup murahlah," kata dia.
Baca juga: Rapat dengan DPR, Sri Mulyani Berharap RUU Bea Materai Disahkan Tahun Ini