TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menanggapi outlook pertumbuhan ekonomi terbaru dari Bank Dunia yang memproyeksikan ekonomi Indonesia pada 2020 berada di level negatif yakni -2 persen hingga -1,6 persen.
“Secara umum, outlook Bank Dunia ini masih sejalan dengan asesmen pemerintah terkini yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada dalam rentang -1,7 persen dan -0,6 persen," jelas Febrio Kacaribu dalam tanggapan resminya, Selasa, 29 September 2020.
Bank Dunia menilai berbagai faktor akibat eskalasi pandemi Covid-19, seperti pembatasan mobilitas, peningkatan risiko kesehatan, dan pelemahan ekonomi global telah memberikan tekanan terhadap permintaan domestik, baik aktivitas konsumsi maupun investasi.
Di sisi lain, kondisi permintaan domestik yang masih relatif lemah tersebut menahan indikator makro lainnya tetap terjaga, yakni inflasi sebesar 2,1 persen dan defisit neraca transaksi berjalan sekitar 1,3 persen terhadap PDB.
Pada 2021-2022, Bank Dunia memperkirakan ekonomi Indonesia akan melalui proses pemulihan meskipun masih dibayangi risiko dan tantangan terkait keberhasilan penanganan pandemi Covid-19. Pertumbuhan ekonomi pada 2021 diprediksi berada dalam rentang 3,0 - 4,4 persen dan setahun berikutnya atau pada 2022 sebesar 5,1 persen.
Angka perkiraan tersebut mempertimbangkan adanya dampak baseline yang rendah, serta adanya penurunan potensi pertumbuhan -0,6 poin persentase (percentage point) dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi, konsekuensi dari investasi dan produktivitas yang lebih rendah.
Di samping indikator ekonomi, Bank Dunia juga menunjukkan asesmen indikator kesejahteraan, khususnya angka kemiskinan ekstrem yang diproyeksi kembali meningkat untuk pertama kalinya sejak 2006. Kemiskinan ekstrem meningkat dari 2,7 persen di 2019 menjadi 3,0 persen di 2020 (berdasarkan garis kemiskinan US$1,9 perkapita perhari – 2011 PPP).
Sementara itu, ambang batas tingkat kemiskinan US$ 3,2 dan tingkat kemiskinan US$ 5,5 (Paritas Daya Beli/PPP) tidak digunakan oleh BPS untuk mengukur kemiskinan karena pendekatan yang dipakai oleh BPS adalah kemampuan penduduk dalam pemenuhan kebutuhan dasar (Basic Needs Approach).
Sebagai respons pemerintah, mayoritas masyarakat kelompok 40 persen pendapatan terendah telah mendapat dukungan pemerintah melalui Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), baik dalam bentuk Jaring Pengaman Sosial (JPS), bantuan/pembiayaan usaha, maupun subsidi listrik.
Pemerintah juga telah mengalokasikan anggaran senilai Rp 203,9 triliun atau sekitar 0,9 persen terhadap PDB untuk JPS.
"Bantuan ini bahkan tidak hanya menyasar masyarakat 40 persen terbawah, tetapi juga kelas menengah yang terdampak melalui berbagai program, seperti Program Kartu Pra Kerja dan program Padat Karya," kata Febrio.
BISNIS
Baca juga: Kemenkeu: Resesi Bukan Seperti Hantu Tiba-tiba Datang