TEMPO.CO, Jakarta -Peneliti Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman, mengatakan Rancangan Undang-Undang disingkat RUU Cipta Kerja sebagai kesempatan untuk membenahi beragam persoalan yang membendung peningkatan daya saing dari sisi investasi dan pelayanan perizinan.
"Pertanyaan besarnya, apakah RUU Cipta Kerja bisa menjamin apa yang kita sebut sebagai daya saing daerah berkelanjutan, gitu ya?" ujar Armand, dalam diskusi virtual, Selasa, 22 September 2020.
Baca juga : 143 Perusahaan Mau Relokasi, Menteri Airlangga: Segara Selesaikan Omnibus Law
Menurut dia, sejumlah lembaga termasuk KPPOD, mencoba merumuskan apa yang disebut daya saing daerah berkelanjutan sebagai sebuah keunggulan kompetitif daerah dalam memobilisasi, mengoptimalkan segala sumber daya dalam meningkatkan nilai tambah melalui efisiensi atau inovasi untuk meningkatkan produktivitas.
"Tapi, yang paling penting adalah bagaimana upaya ini tetap menjaga keseimbangan, dengan pilar-pilar lain. Terutama hubungan antara alam dan manusia atau alam dan kehidupan sosial," tutur dia. Dalam wacana tersebut, dia berujar, harus diletakkan dalam empat pilar, yakni lingkungan lestari, sosial inklusif, ekonomi unggul, dan tata kelola yang baik.
Terkait ekonomi unggul, ia menambahkan, perlu dikaitkan dengan sebuah sistem di mana potensi ekonomi berjalan dengan baik, kemampuan fiskal daerah bisa menunjuk aktivitas perekonomian daerah, dan ekosistem daerah serta ketersedian infrastruktur terjaga dengan baik. Namun, memperhatikan keseimbangan dengan pilar lain.
"Terutama lingkungan hidup dan sosial," katanya. Dalam rancangan undang-undang sapu jagat yang tengah dikebut Dewan Perwakilan Rakyat, kata dia, perlu diberi catatan agar aspek keberlanjutan dalam Ombnibus Law tadi bisa dijamin dalam pelaksanaannya di kemudian hari.
Sebelumnya, dalam diskusi yang mengangkat tema "RUU Cipta Kerja: Momentum Agregasi Daya Saing Daerah Berkelanjutan" itu, Armand menambahkan, tahun ini, Indonesia memasuki 20 tahun berotonomi, bagaimana melalui RUU Cipta Kerja sebagai upaya untuk menggedor apa yang menjadi tujuan otonomi. "Yaitu kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat," ujarnya.
Dalam mencapai kesejahteraan dan kualitas hidup, kata dia, sudah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, bahwa dalam mencapai kesejahteraan, maka yang harus dibenaghi adalah instrumen tata kelola, terutama dalam memberikan pelayanan publik, termasuk terkait perizinan serta daya saing.
"Jadi ini merupakan tools yang perlu kita optimalkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas masyarakat. Terutama masyarakat di daerah," ucap dia. Namun kenyataan dari sejumlah kajian internasional, kata dia, daya saing, baik di level daerah maupun nasional merupakan seusatu yang harus diperjuangkan kembali.
IHSAN RELIUBUN | DA