TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan upaya Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok untuk mengevaluasi perusahaannya tak salah karena menjalankan fungsi pengawasan. Namun, ia menilai cara yang dilakukan Ahok dengan membeberkan persoalan melalui sebuah tayangan di media sosial perlu dikoreksi.
“Ibarat rumah tangga, kalau ada masalah dengan istri ya didiskusikan, diselesaikan. Bukan malah curhat ke infotainment,” tutur Komaidi saat dihubungi Tempo, Kamis, 17 September 2020.
Komaidi mengatakan, sebagai komisaris, Ahok memiliki wewenang untuk memanggil dewan direksi dan memberikan pengarahan secara langsung. Semestinya, kata dia, Ahok menggunakan wewenang itu untuk merampungkan persoalan perseroan.
Meski memahami bahwa Ahok memiliki tujuan baik, Komaidi menyarankan seharusnya mantan Gubernur DKI Jakarta itu memilih langkah elegan untuk memperbaiki perusahaan pelat merah. Pada masa-masa krisis pandemi, dia juga berpendapat sebaiknya pejabat perserian tak saling menyalahkan karena justru akan memantik munculnya masalah anyar.
Lebih lanjut, ia menilai sikap Ahok terkesan ganjil. “Saya tidak tahu pasti motifnya apa. Saya melihat ada yang ganjil,” ucapnya.
Tiga hari lalu, tepatnya 14 September 2020, sebuah video pendek yang berjudul “NEKAT! AHOK BERANI LAKUKAN INI” beredar lewat melalui akun Politik Indonesia atau Poin di YouTube. Video viral itu mengundang jutaan penonton.
Dalam video berdurasi 6 menit 39 detik, Ahok mengkritik banyak hal tentang perusahaan. Selama menjabat sebagai komisaris di Pertamina, ia membeberkan masih banyak temuan permainan di dalam perusahaan pelat merah tersebut. "Kita ubah sekarang soal transparansi. Hampir semua berita lelang ada di website. Soal ada permainan di dalam, masih terjadi," ujarnya.
Ahok mengaku sebetulnya tugasnya sebagai komisaris punya peran vital. "Saya ini eksekutor, bukan pengawas sebenarnya. Komisaris itu ibarat neraka lewat, surga belum masuk," ujarnya.
Karena itu, Ahok mendorong adanya pemangkasan birokrasi di Pertamina. Misalnya lewat mekanisme kenaikan pangkat jabatan. "Dulu kalau naik pangkat di Pertamina harus lewat Pertamina Reference Level, untuk bisa jadi SVP harus 20 tahunan. Sekarang saya ubah. Harus lewat lelang terbuka," katanya.
Ia juga mempersoalkan masih ada yang memanipulasi gaji di Pertamina. "Ada pejabat yang dicopot, tapi masih dapat gaji dengan besaran seperti di posisi sebelumnya. Padahal semestinya mengikuti jabatan baru. Bayangkan ada yang digaji Rp 75 juta, tidak kerja apa-apa karena gaji pokok dipatok tinggi. Ini yang sedang kita ubah sistemnya," ucapnya.