TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) Kristiono menilai sampai hari ini, penetrasi fixed broadband seperti wifi di Indonesia masih sangat rendah dan belum merata. Kondisi ini akhirnya berdampak pada naiknya pengeluaran masyarakat di daerah terhadap paket data internet di telepon seluler atau HP mereka atau mobile broadband.
“Permasalahannya penetrasi fixed broadband rendah sekali. Kalau terhadap populasi hanya sekitar 3 sampai 4 persen,” kata Kristiono dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat, 4 September 2020.
Akibat kondisi ini, kata dia, maka sangat wajar jika masyarakat di daerah lebih mengandalkan internet seluler, karena wifi tidak tersedia. Tapi di sisi lain, layanan fixed broadband menghadapi ketidakpuasan layanan dari sisi pelanggan, khususnya dari kelas ekonomi atas atau segmen A.
Menurut Kristiono, para pengguna dari segmen tersebut rela membayar lebih mahal untuk kualitas layanan yang diharapkan lebih baik. Lantaran, seluruh aktivitas kini banyak dihabiskan di rumah.
Dampak dari rendahnya penetrasi fixed broadband ini terlihat dalam survei terbaru dari konsultan marketing ternama di Indonesia, MarkPlus Inc. Mereka melakukan survei terhadap 111 responden di seluruh Indonesia.
Hasilnya, sebanyak 52,1 persen masyarakat non-Jabodetabek atau di daerah harus menambah pembelian paket data internet di HP mereka. Sebab, 68,8 persen pengguna internet di wilayah tersebut belum memasang fixed broadband.
Kondisi yang berbeda terjadi pada pengguna internet di Jabodetabek. Sebanyak 63,5 persen masyarakat Jabodetabek mengaku tidak menambah maupun mengurangi kuota internet seluler bulanan. Sebab, mereka sudah didukung oleh personal wifi yang sudah terpasang di rumah masing-masing.
Rendahnya penetrasi fixed broadband ini juga dikeluhkan CEO PT Link Net Tbk Marlo Budiman. "Saya prihatin," kata dia.
Dari data Marlo, penetrasi fiex broadband justru lebih tinggi, yaitu 12 persen pada 2019. Tahun 2024, penetrasi fixed broadband di Indonesia diproyeksi bisa sampai 17 persen.
Angka ini kalah dibandingkan beberapa negara tetangga di Asia. Di atas Indonesia, berturut-turut empat negara yang sudah lebih tinggi, baik penetrasi fixed broadband di 2019 maupun proyeksi di 2024.
Rinciannya yaitu Malaysia 28 persen (2019) dan 57 persen (2024), Thailand 44 persen dan 48 persen, Vietnam 58 persen dan 67 persen, lalu Cina yang tertinggi yaitu 92 persen dan 98 persen.
Para penyedia jasa fixed broadband sebenarnya ingin mempercepat penetrasi ini. Tapi ternyata, keinginan ini disebut terhambat karena ada sejumlah daerah yang ingin menerapkan biaya sewa kabel fiber optik untuk kebutuhan fixed broadband tersebut.
Marlo menyebut pada pelaku industri paham bahwa daerah ingin menjadikan ini sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tapi di sisi lain, ini justru memberatkan bagi pelaku industri. "Jadi kami mohon juga bantuan pemerintah, untuk bisa dibantu," kata dia.
FAJAR PEBRIANTO