TEMPO.CO, Jakarta - Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengulas pernyataan mengenai resesi yang disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud Md, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
"Kemarin beredar tautan berita online menginformasikan seolah ada perbedaan pendapat antara Menkeu, Menko Polhukam, dan Menko Perekonomian terkait resesi. Saya coba mendalami pernyataan yang disampaikan dan meletakkan dalam konteks yang lebih sesuai. Menurut saya, tak ada perbedaan," kata Yustinus dalam akun Twitternya, Selasa, 1 September 2020.
Perbedaan yang dia maksud yaitu di tataran substansi dan intensi. Baik Sri Mulyani, Mahfud, maupun Airlangga yang berbicara tentang resesi dalam konteks yang berbeda dengan intensi yang sama, kata dia, memijak realitas, tetap awas, sekaligus membangun optimisme.
Sri Mulyani yang pertama menyampaikan sinyal itu ke publik saat konferensi pers APBN KiTa, pekan lalu. Menkeu, kata Yustinus, berpijak pada realisasi APBN sampai dengan Juli 2020 dan data ekonomi terkini. Sri Mulyani menyampaikan proyeksi pertumbuhan Q3 dalam range -2 persen hingga nol persen. Menurut Yustinus, hal itu sangat realistis.
Menkeu menegaskan, itu realitas yang akan dihadapi jika diproyeksikan dari capaian saat ini. Maka pemerintah fokus pada kerja keras, mengerahkan seluruh daya upaya - baik menangani kesehatan, sosial, dan ekonomi - agar capaian lebih baik. Narasi RAPBN 2021 pun selaras, yakni percepatan pemulihan ekonomi dan penguatan reformasi fundamental. Ada prioritas yang disusun lebih fokus dan tajam.
Menurutnya, APBN lebih terlihat money follows program, karena beberapa program prioritas dikerjakan lintas kementerian, lembaga dan sektor.
Sementara, Mahfud bicara dalam forum terbatas dan maksudnya menyampaikan realitas dengan tetap menjaga optimisme. Mahfud mengatakan meski (secara teknikal) akan resesi, tapi itu bukan krisis ekonomi.
Menurut Yustinus, karena itu istilah teknis, yang lebih penting adalah optimisme dan menjaga trust. Hal tersebut sejalan dengan upaya pemerintah untuk terus bekerja bagi rakyat dengan program-program belanja sosial. Mahfud, kata Yustinus, tak bicara kebijakan ekonomi, tetapi kondisi ekonomi sebagai bingkai isu Polhukam.
Sedangkan Airlangga mengatakan meski kuartal III tumbuh negatif, tidak bisa dibilang resesi kalau realisasinya lebih baik dibanding Q2 -5,32 persen. "Apa maksudnya? Konteksnya: merawat optimisme. Tak sembunyikan angka karena Menkeu sudah bicara," kata dia.
Airlangga, kata Yustinus, ingin menyampaikan dari perspektif substansial atau material, bahwa meski secara teknikal ini resesi, tapi karena realisasi kuartal III lebih baik, maka tak bisa dibilang keadaan memburuk. Lagi-lagi, kata dia, itu merupakan ajakan untuk tetap optimis, menjaga trust, dan memastikan pemerintah bekerja.
"Jadi, resesi atau tidak resesi? Saya memilih tak terjebak dalam dikotomi serba-ringkas itu. Lebih produktif dan solutif (maaf pinjam bu Tedjo), kalau kita mendiskusikan kebijakan yang efektif, setajam dan sekeras apapun," ujarnya.
HENDARTYO HANGGI