Adapun penurunan penjualan bahan bakar di kota besar selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) bisa mencapai 40 persen hingga 50 persen kondisi normal. "Hilir memberikan kontribusi 80 persen dari total pendapatan Pertamina. Sehingga, penurunan penjualan di Hilir berdampak signifikan pada pendapatan perseroan," ujar Nicke.
Selanjutnya, Dirut Pertamina juga mengungkapkan bahwa perseroan juga tertekan oleh pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Dirut Pertamina ini mengatakan, kerugian akibat selisih kurs tersebut mencapai US$ 211 juta pada semester I 2020. Sebab, 93 persen pengeluaran modal dan biaya operasi perseroan menggunakan dolar, sedangkan 80 persen pendapatan dalam rupiah.
Selanjutnya, Pertamina terdampak penurunan harga minyak dunia karena kelebihan pasokan. Faktor ini menyebabkan pendapatan dari hulu migas perseroan turun 20 persen. Di saat yang sama, biaya eksplorasi dan eksploitasi relatif tetap.
Meski buntung di paruh pertama, Pertamina yakin akan dapat mengejar laba di semester kedua nanti. Adapun memasuki semester kedua 2020, kinerja operasional Pertamina secara keseluruhan diklaim mulai positif. Pada Juli 2020, Pertamina mencatat volume penjualan seluruh produk mencapai 6,9 juta kilo liter (KL). Angka ini meningkat 5 persen dibandingkan dengan Juni 2020 yang hanya 6,6 juta KL.
Sedangkan dari sisi pemasaran, pada Juli, Pertamina mencatat nilai penjualan perusahaan berada di kisaran US$ 3,2 miliar atau naik 9 persen dari bulan sebelumnya yang hanya US$ 2,9 miliar. Saat ini, Pertamina tetap menjaga stabilitas perusahaan dengan tetap mengoperasikan kilang, melakukan eksplorasi hulu migas, mendistribusikan BBM dan LPG, serta membuka seluruh SPBU.
“Total tenaga kerja yang langsung terlibat dalam kegiatan hulu sampai hilir di Pertamina mencapai lebih dari 1,2 Juta orang. Dengan langkah tersebut, tidak ada PHK di seluruh Pertamina grup,” tutur Nicke.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | CAESAR AKBAR
Baca juga: Bos Pertamina: Hampir Semua Perusahaan Migas Dunia Rugi pada Semester I 2020