TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan perseroan sebagai Badan Usaha Milik Negara tetap menjaga perekonomian meski dalam kondisi sulit. Perseroan rugi Rp 11 triliun pada semester I 2020.
Nicke mengatakan Pertamina tetap menjaga perekonomian nasional dengan cara tetap mengoperasikan kilang, eksplorasi hulu migas, distribusi BBM dan elpiji, serta membuka seluruh SPBU. Total tenaga kerja yang langsung terlibat dalam kegiatan hulu sampai hilir di Pertamina diperkirakan mencapai lebih dari 1,2 Juta orang. "Dengan langkah tersebut, tidak ada PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) di seluruh Pertamina Group," ujar Nicke dalam pesan tertulis, Jumat, 28 Agustus 2020.
Nicke mengatakan proyek-proyek yang tetap berjalan di tengah pandemi ini antara lain proyek Kilang Balikpapan, proyek Kilang Tuban, proyek Jambaran Tiung Biru, proyek penambahan kapasitas aropatik TPPI, hingga proyek PLTG Jawa 1. Proyek tersebut berjalan dengan protokol Covid-19 yang ketat. "Dengan demikian, ekosistem industri dan tenaga kerja yang mendukung proyek-proyek tsb tetap produktif dan memiliki penghasilan," ujar dia.
Pada semester I 2020, Pertamina mencatatkan kinerja keuangan negatif dengan membukukan kerugian Rp 11 triliun. Nicke mengatakan secara garis besar ada tiga penyebab perseroan akhirnya merugi pada paruh pertama tahun ini.
Pertama, penurunan konsumsi BBM karena pandemi Covid-19. Merosotnya konsumsi tersebut menyebabkan pendapatan dari sektor hilir berkurang 25 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu.
Adapun penurunan penjualan bahan bakar di kota besar selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar bisa mencapai 40 persen hingga 50 persen kondisi normal. "Hilir memberikan kontribusi 80 persen dari total pendapatan Pertamina. Sehingga, penurunan penjualan di Hilir berdampak signifikan pada pendapatan perseroan," ujar Nicke.
Kedua, pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Nicke mengatakan kerugian akibat selisih kurs tersebut mencapai US$ 211 juta pada semester I 2020. Pasalnya, 93 persen pengeluaran modal dan biaya operasi perseroan menggunakan dolar, sementara 80 persen pendapatan dalam rupiah.
Ketiga, penurunan harga minyak dunia karena kelebihan pasokan. Faktor ini menyebabkan pendapatan dari hulu migas perseroan turun 20 persen. Sementara, biaya eksplorasi dan eksploitasi relatif tetap.
"Sektor hulu memberikan kontribusi keuntungan 80 persen terhadap total keuntungan Pertamina, sehingga penurunan profitabilitas dari sektor hulu ini berdampak besar pada penurunan profit Pertamina," ujar Nicke.
Meski demikian, Nicke mengatakan saat ini konsumsi BBM di beberapa daerah sudah mulai meningkat. Pada Juli 2020, pendapatan mengalami peningkatan 9 persen dan perseroan membukukan keuntungan operasi US$ 1,2 miliar. Sehingga, pada periode tersebut pun kerugian berkurang menjadi Rp 4,5 triliun.
"Dengan tren positif ini kami yakin dapat meningkatkan kinerja di semester II 2020 ini, dan dapat membukukan keuntungan di tahun ini," ujar Nicke.
Ia berharap pandemi Covid-19 bisa diatasi dengan baik sehingga mobilitas dan perekonomian semakin membaik dan dapat mendorong peningkatan konsumsi BBM.
CAESAR AKBAR