Antara pemohon sebagai penyiaran konvensional dengan spektrum frekuensi rasio dan penyelenggara penyiaran berbasis internet seperti layanan Over The Top (OTT). Singkatnya, RCTI dan iNewsTV meminta MK menyatakan Pasal 1 ayat 1 UU Penyiaran ini bertentangan dengan UUD 1945.
3. Bantah Kebiri Kreativitas Medsos
Sementara itu, Corporate Legal Director MNC Group Christophorus Taufik juga sudah memberikan penjelasan ihwal gugatan ini di laman berita inews.id, bagian dari MNC Group. Penjelasan tersebut keluar dengan judul "Bukan Kebiri Kreativitas Medsos, Uji Materi UU Penyiaran untuk Kesetaraan dan Tanggung Jawab Moral Bangsa."
Chris membantah pemberitaan bahwa gugatan ini akan mengakibatkan masyarakat tidak bisa siaran live lagi di media sosial. "Itu tidak benar," kata dia, seperti dikutip dari iNews.id pada Kamis malam, 27 Agustus 2020.
Menurut Chris, gugatan ini justru dilatarbelakangi keinginan untuk melahirkan perlakuan dan perlindungan yang setara antara anak-anak bangsa dengan sahabat-sahabat YouTube dan selebgram dari berbagai belahan dunia. "Mendorong mereka untuk tumbuh, meningkatkan kesejahteraan mereka dan berkembang dalam tataran kekinian," kata dia.
Jika dicermati, kata Chris, tidak tersurat sedikitpun dalam permohonan untuk memberangus kreativitas para youtuber, selebgram, dan sahabat-sahabat kreatif lainnya. Menurut dia, pemohon justru ingin mendorong UU Penyiaran yang sudah jadul dan tertinggal perkembangannya, agar bersinergi dengan UU lainnya, seperti UU Telekomunikasi dan UU ITE.
4. Kominfo Singgung Dampak
Rabu, 26 Agustus 2020, sidang lanjutan kembali digelar di MK. Dalam sidang ini, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Ahmad M Ramli memberikan keterangan pemerintah soal dampak dari gugatan ini.
Bila gugatan dikabulkan MK, kata dia, maka masyarakat tidak lagi bebas memanfaatkan fitur siaran dalam platform media sosial. Sebab, siaran hanya boleh dilakukan oleh lembaga penyiaran yang berizin.
Ramli menyebutkan, perluasan definisi penyiaran akan mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, YouTube Live, dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin. "Artinya, kami harus menutup mereka kalau mereka tidak mengajukan izin," kata dia.
5. Harus Memiliki Izin Penyiaran
Selain itu, Ramli juga mengatakan jika kegiatan dalam media sosial itu juga dikategorikan sebagai penyiaran, maka perorangan, badan usaha, ataupun badan hukum akan dipaksa memiliki izin menjadi lembaga penyiaran.
Berikutnya, perorangan atau badan usaha yang tidak dapat memenuhi persyaratan perizinan penyiaran itu menjadi pelaku penyiaran ilegal. Oleh karena itu, mereka harus ditertibkan oleh aparat penegak hukum karena penyiaran tanpa izin merupakan pelanggaran pidana. Belum lagi pembuat konten siaran melintasi batas negara sehingga tidak mungkin terjangkau dengan hukum Indonesia.
Ramli mengakui kemajuan teknologi yang pesat memungkinkan terjadinya konvergensi antara telekomunikasi dan media penyiaran. Meski begitu, usulan agar penyiaran yang menggunakan internet termasuk penyiaran akan mengubah tatanan industri penyiaran dan mengubah secara keseluruhan Undang-Undang Penyiaran.
Oleh karena itu, menurut Ramli, dibutuhkan solusi pembuatan Undang-undang baru oleh DPR dan pemerintah yang mengatur sendiri layanan siaran melalui internet.
6. Disebut Batasi Kebebasan
Tak hanya Ramli, Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun juga memberikan pandangan mengenai gugatan ini. Ia menilai gugatan yang diajukan RCTI dan iNewsTV ini didasari motif ekonomi. Sebab, saat ini media sosial sudah menjadi saingan utama televisi.
"Kalau yang mengajukan korporasi ada motif bisnisnya, kita tahu medsos jadi saingan televisi. Bahkan seperti YouTube itu sudah jadi saingan televisi. Orang kan sekarang nonton YouTube ya, walaupun siarannya di televisi, orang nontonnya lewat YouYube," kata Refly dikutip dari Bisnis.com, 27 Agustus 2020.