TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso meminta masyarakat tak mempercayai desas-desus yang disampaikan pihak-pihak tak bertanggung jawab di media sosial tentang isu kebangkrutan perbankan. Informasi sumir itu sebelumnya disebut telah mengajak masyarakat melakukan rush money atau menarik uang besar-besaran di bank.
“Soal ajakan orang (menarik uang di bank), kalau iseng menyebar kebohongan ya dilaporkan polisi, ditanya apa maksudnya dan diproses. Sebab itu tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya bahwa likuiditas bank baik. Suplai likuiditas cukup melimpah,” tutur Wimboh dalam konferensi pers yang digelar secara virtual pada Kamis, 27 Agustus 2020.
Wimboh menjelaskan, pemerintah telah memiliki mitigasi agar likuiditas perbankan tidak kering selama masa pandemi. Belum lama ini, misalnya, pemerintah telah mengucurkan dana Rp 30 triliun lewat Himbara atau himpunan bank negara yang ditujukan bagi penyaluran kredit UMKM.
Dengan demikian, Wimboh menyebut suplai likuiditas perbankan sejauh ini dalam kategori aman. Penempatan dana ini pun berdampak memberikan efek confident atau kepercayaan pelaku industri kepada industri jasa keuangan.
Di samping itu, dengan penempatan dana tersebut, perbankan diyakini memiliki ruang yang lebih luas dari sisi keuangan. Sehingga, uang perbankan yang semula didedikasikan untuk kredit bisa dimanfaatkan untuk pos-pos lain.
Wimboh melanjutkan, kondisi krisis pandemi sangat berbeda dengan krisis moneter yang terjadi pada 1997-1998. Saat awal krisis pandemi terjadi, pihaknya telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 11 Tahun 2020 yang mengatur restrukturisasi kredit. Di saat yang sama, Bank Indonesia menurunkan tingkat suku bunga sehingga nasabah terbantu.
“Kalau 1997 dan 1998 itu telat, menunggu nasabah bangkrut dan akhirnya bank jadi default. Kalau sekarang, semua oke, tertata, NPL oke. Dalam kondisi ini, jangan serta-merta mengkategorikan default,” ucapnya.
Baca juga: Rush Money Jadi Viral di Medsos, Ini Penjelasan BCA