Implementasi regulasi tersebut di antaranya mengatur mengenai pemanfaatan sumber daya alam secara efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.
Kemudian, menekankan pelarangan atau pembatasan ekspor sumber daya alam dalam rangka peningkatan nilai tambah industri guna pendalaman dan penguatan struktur Industri dalam negeri, serta jaminan ketersediaan dan penyaluran sumber daya alam untuk industri dalam negeri.
“Dewasa ini, industri smelter nikel yang menghasilkan NPI, feronikel, nikel hidrat dan stainless steel telah tumbuh pesat. Hingga saat ini, telah beroperasi sekitar 19 smelter yang tersebar di Jawa Timur, Banten, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara,” ungkap Dody.
Bahkan, sudah ada yang dalam proses pembangunan smelter nikel yang mengolah nikel kadar rendah menjadi bahan baku baterai yang berlokasi di Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Banten.
Berdasarkan data BPS, Dpdy berujar bahwa pada tahun 2018 dan 2019, nilai ekspor produk industri logam berbasis nikel berturut-turut mencapai US$ 4,8 miliar dan US$ 7,08 miliar atau meningkat 47,5 persen. Besarnya kontribusi industri smelter nikel tersebut, lanjut Dody, perlu didorong untuk pengembangan hilirisasi produknya.
“Diharapkan smelter nikel tidak hanya melakukan ekspor dalam bentuk NPI maupun bahan baku baterai, tetapi dalam bentuk produk lebih hilir seperti produk hilir berbahan baku stainless steel dan baterai listrik,” kata dia.
CAESAR AKBAR