TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Luky Alfirman mengatakan pemerintah dan Bank Indonesia terus memantau risiko inflasi akibat kebijakan berbagi beban dalam penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.
"Risiko inflasi itu selalu kami diskusikan dan monitor terus dengan Bank Indonesia," ujar Luky dalam konferensi video, Jumat, 24 Juli 2020. Meski demikian, ia mengatakan sampai sekarang inflasi di Tanah Air masih terpantau sangat terkendali.
Hingga Juni lalu, tingkat inflasi masih terjaga rendah sebesar 1,96 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Luky mengatakan saat ini pertumbuhan ekonomi terkena dampak pandemi dan cenderung menurun. Hal tersebut juga sejalan dengan turunnya permintaan dari masyarakat.
"Jadi kami sudah berhitung dengan BI, insya Allah inflasi sampai dengan akhir tahun ini masih cukup terjaga," ujar Luky.
Selain soal inflasi, ia berujar pemerintah dan BI juga telah memperhitungkan imbas kebijakan burden sharing tersebut terhadap nilai tukar, serta kredibilitas pasar Surat Berharga Negara. Ia yakin risiko-risiko tersebut masih bisa dikendalikan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan Surat Keputusan Bersama antara pemerintah dan Bank Indonesia tentang berbagi beban penanganan Covid-19 sudah diteken. "SKB sudah ditandatangani, tetapi kami dengan BI akan terus melihat kalau ada yang perlu ditambahkan, SKB I dan II sudah ditandatangani dan sudah operasional," ujar dia dalam konferensi video, Senin, 20 Juli 2020.
Skema pelaksanaan SKB II ini pada sektor public goods atau public benefit sebesar Rp 367 triliun akan dilakukan melalui private placement. "Bukan lewat lelang biasa. Tapi nanti sesuai kebutuhan kami akan mengajukan ke BI, kemudian diterbitkan SBN dan dibeli oleh BI," ujar Luky. Sementara, untuk non-public goods akan menggunakan mekanisme pasar biasa.
Sebelumnya, sejumlah pihak telah mewanti-wanti adanya risiko meningkatnya laju inflasi akibat kebijakan tersebut. Pasalnya skema ini akan membuat bank sentral mengucurkan dana jumbo dan berpotensi memicu peningkatan jumlah uang beredar di masyarakat.
Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual mengatakan risiko itu bisa terjadi apabila dosis pelaksanaan kebijakan tersebut berlebihan. "Ada risiko kalau dosis monetisasi ini berlebihan akan berdampak kepada inflasi dalam jangka panjang," kata dia, 7 Juli 2020.
Menurut David, kondisi inflasi yang masih rendah seperti saat ini berpotensi berbalik arah apabila upaya pengendalian inflasi tidak cukup optimal. Ia meminta pemerintah mengutamakan ketersediaan barang dan produksi dalam negeri.
Ekonom Institute for Development of Economics ad Finance Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan peningkatan laju inflasi bisa terjadi pada paruh kedua 2020. "Ini akan menjadi blunder pada daya beli masyarakat. Yang paling harus diwaspadai adalah dari sisi inflasi bahan pangan," kata dia.
Pemerintah dan Bank Indonesia juga diminta berhati-hati dalam menjalankan skema bagi beban, khususnya dalam rangka menjaga tingkat independensi bank sentral, yang berpengaruh besar terhadap tingkat kepercayaan investor. "Muara akhirnya ke kurs rupiah. Kalau ada distrust, rupiah bisa melemah dalam jangka waktu yang panjang."
CAESAR AKBAR | GHOIDA RAHMAH