Menurut Tb Ardi Januar, Menteri Edhy tak cuma mementingkan manfaat ekonomi dalam menerbitkan kebijakan, karena keberlanjutan lobster dan kelestarian lingkungan juga masuk perhitungan.
"Itulah sebabnya, penangkapan benih harus menggunakan alat statis yang tidak merusak ekosistem laut dan pembudidaya diwajibkan melepasliarkan hasil panen 2 persen ke alam, khususnya di wilayah konservasi," katanya.
Ia juga memastikan, Peraturan Menteri KP Nomor 12 tahun 2020 sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, di mana bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berbeda dengan pernyataan Tb Ardi, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menentang disahkannya izin penangkapan, budidaya, hingga ekspor benih lobster oleh Menteri Kelautan dan Perikanan saat ini, Edhy Prabowo. Susi menjelaskan kebijakan itu akan berisiko terhadap kelangsungan ekosistem.
Dia bercerita, negara-negara yang memiliki spiny lobster, seperti Filipina, Sri Lanka, hingga Maladewa bahkan sudah tidak memberikan izin bagi penjualan benih untuk menjaga ekosistem. Hal ini berkebalikan dengan Indonesia yang justru membuka izin tersebut.
Menurut Susi, di samping terdapat ancaman terhadap ekosistem, ekspor bibit lobster Indonesia yang umumnya dikirimkan ke Vietnam akan berpengaruh terhadap harga pasar. “Vietnam umumnya ambil lobster jenis mutiara dan pasir yang dulu harganya sangat mahal. Tapi begitu mereka bisa impor dari Indonesia dan berhasil mensuplai ke Jepang serta Cina, harga (lobster) turun jauh,” tuturnya.
Susi khawatir nasib lobster akan sama seperti bawang putih saat ekspor benih dibuka. Menurut dia, harga lobster bakal anjlok karena adanya kendali dari pasar negara lain yang menyebabkan nilai serapan di level nelayan sangat rendah.
Susi menyebut kebijakan pemerintah mengizinkan kembali perdagangan bayi lobster akan merugikan baik dari sisi pasar maupun ekosistemnya. Sebab, kata Susi, jumlah tangkapan lobster dewasa akan berkurang.