Pola pemulihan ekonomi ke depan perlu menjadi perhatian, sebagai tolok ukur keberhasilan kebijakan re-opening ekonomi. “Apakah setelah ini perbaikan akan terus terjadi (V Shape), atau flat (L Shape), atau ada pembalikan namun membutuhkan waktu yang lama (U Shape),” ucap Chatib.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Didik J. Rachbini mengamini perihal pentingnya keseriusan penanganan wabah dan penguatan disiplin protokol kesehatan sebelum membuka Kembali aktivitas ekonomi.
“Perbaiki dulu aspek kesehatannya, kalau masih dalam kondisi pertambahan kasus positif naik terus seperti saat ini ya itu tidak tidak akan mendorong ekonomi. Malah kalau pemerintah bersikeras mendorong dan membuka aktivitas akan membuat ekonomi jauh lebih buruk lagi,” katanya.
Didik menambahkan peluang resesi berada di depan mata dan sulit terhindarkan dalam kurun waktu singkat. “Kami memperkirakan triwulan III masih akan minus, tak jauh berbeda kondisinya dengan triwulan II, sehingga secara teknis terjadi resesi.”
Pengamat Ekonomi dari Universitas Padjajaran, Arief Anshory Yusuf mengatakan walau aktivitas perekonomian mulai dibuka, tingkat keyakinan atau confidence masyarakat belum sepenuhnya pulih.
“Buktinya mayoritas masyarakat dengan atau tidak dengan PSBB mereka masih membatasi keluar rumah, karena tidak dapat dipungkiri ketakutan atau paranoid akan wabah yang belum hilang itu masih ada,” ujarnya.
Dia menuturkan hal itu menyebabkan pemulihan ekonomi pasca re-opening ekonomi diragukan bergulir dengan cepat. “Kecuali pemerintah bisa berhasil membuat masyarakat percaya angka kasus Covid-19 akan turun.”