TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior Universitas Indonesia Faisal Basri menganalisis penyebab Cina belum mengalami resesi ekonomi. Padahal, Negeri Tirai Bambu adalah yang pertama mengalami hantaman Covid-19 dan sempat mengacaukan rantai pasok dunia.
Cina pun, kata Faisal, adalah negara pengekspor terbesar di dunia dan pengimpor terbesar kedua di level global. "Sedemikian hebatnya Cina dalam perdagangan dunia, namun peranan ekspor dan impor dalam PDB-nya relatif sangat kecil," ujar dia dalam tulisannya di faisalbasri.com, Sabtu, 18 Juli 2020.
Ekspor hanya menyumbang 18,4 persen dalam perekonomian Cina, atau hampir persis dengan Indonesia. Sementara, impor menyumbang 17,3 persen. Yang membedakan kondisi Negeri Panda dan Tanah Air adalah ekspor neto Cina masih positif, sedangkan ekspor neto Indonesia negatif alias porsi impor lebih tinggi dari porsi ekspor.
Menilik negara lain, ekonomi Singapura sudah memasuki fase resesi karena dua triwulan berturut-turut mengalami kontraksi alias pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) negatif. Pada triwulan kedua 2020 pertumbuhan PDB Singapura terjun bebas. Pertumbuhan ekonomi Negeri Singa merosot 41,2 persen dibandingkan triwulan I-2020.
Faisal mengatakan sektor konstruksi yang menjadi andalan Singapura praktis tak bergerak akibat menciut sebesar 95,6 persen. Jika dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun lalu (year-on year) kemerosotan ekonomi Singapura hanya 12,6 persen. Walaupun lebih rendah dibandingkan dengan perhitungan quarter-to quarter, kemerosotan dua digit itu dinilai mencerminkan kemerosotan yang cukup dalam.
Belum lagi tekanan dari ekspor impor di Singapura. Faisal mengatakan selama ini peranan ekspor barang dan jasa di dalam PDB Singapura sangat tinggi, yaitu sebesar 174 persen. Di sisi lain porsi impor dalam PDB lebih rendah yaitu 146 persen. "Jadi efek netonya negatif terhadap pertumbuhan," ujar Faisal.