"Untuk peraturan di hulu sudah dalam finalisasi dan sudah dilakukan public hearing. Di hilir sudah diinisiasi penyusunannya sehingga bisa implementatif di lapangan," tutur Musdhalifah.
Pembina Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB) Achmad Mangga Barani mengatakan berdasarkan data sekretariat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), jumlah sertifikat ISPO terbit yang telah diterbit sejak hingga 10 Maret lalu sebanyak 621 sertifikat. Dari jumlah tersebut, sebanyak 607 perusahaan, 10 koperasi swadaya, dan empat KUD plasma telah mendapatkan sertifikat ISPO.
Dari 621 sertifikat yang diterbitkan, ujar Achmad, sama dengan lahan seluas 5.450.000 hektare atau kurang lebih 33 persen dari total areal kelapa sawit selama kurun waktu 2011-2019. "Besar harapan kami, keluarnya perpres 44 ini akan mempercepat sertifikasi ISPO agar bisa meningkatkan keberterimaan kebun sawit di pasar internasional dan percepatan penurunan emisi rumah kaca," ujar Achmad.
Direktur Penghimpunan Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Anwar Sunari menyebutkan pendanaan sertfikasi ISPO diajukan oleh perusahaan perkebunan yang dibebankan kepada masing-masing perusahaan. Kemudian, pendanaan sertifikasi yang diajukan oleh pekebun, dapat bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) atau pun daerah (APBD), serta dan sumber lain yang sah, termasuk BPDPKS.
"Namun, masih ada perbaikan dari Direktorat Jenderal Perkebunan (Kementan) tentang pedoman teknis dalam kerangka pendanaan BPDPKS," ujar Sunari.
Direktur Jenderal Perkebunan, Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun), Kementan, Kasdi Subagyono mengatakan tengah menyusun Permentan yang mengatur prinsip dan kriteria perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. Setidaknya ada tujuh prinsip yang diturunkan jadi 37 kriteria dan 173 indikator untuk perusahaan. Sementara, untuk pekebun hanya dituntut dalam lima prinsip yang diturunkan jadi 21 kriteria dan 33 indikator.