“Kita harus selalu melihat kemampuan pasar airlines,” ujarnya. “Kebijakan kami sebenarnya sudah mengakomodir daya beli.”
Akhir bulan lalu, aturan perjalanan semakin dilonggarkan dengan terbitnya Surat Edaran Gugus Tugas Covid-19 Nomor 9 Tahun 2020. Beleid itu hanya sedikit mengubah substansi masa berlaku hasil tes polymerase chain reaction (PCR) yang semula tujuh hari, maupun hasil tes rapid yang semula tiga hari, menjadi empat belas hari. Namun alih-alih soal tarif, animo segmen penerbangan jarak dekat justru dianggap anjlok karena rumitnya persyaratan dokumen kesehatan yang harus dipenuhi penumpang.
Presiden Direktur Lion Air, Edward Sirait, mengatakan volume penggunaan armada dan frekuensi penerbangan tiga maskapai dalam grup perusahaannya kini masih berkisar 20-25 persen dari kapasitas normal. Di masa awal transisi pasca pembatasan, Lion Grup bahkan sempat membekukan operasi karena kesulitan mengerek penumpang, seperti pada 27-31 Mei 2020. “Semua aturan tambahan sebelum flight itu menjadi beban,” katanya.
Sebelum ada batasan tarif rapid, layanan tes rapid Lion memang tercatat yang paling murah dibandingkan maskapai lain. Garuda Indonesia mematok tarif Rp 315 ribu melalui kerjasama dengan anak usaha PT Pertamina (persero), PT Pertamina Bina Medika. Sriwijaya Air menyediakan layanan bertarif Rp 300-450 ribu. Bahkan, PT Angkasa Pura II (persero) juga sempat memasang tarif Rp 280 ribu untuk sekali uji rapid.
Baca berita selengkapnya soal dampak rapid test terhadap okupansi maskapai tersebut di sini.