TEMPO.CO< Jakarta - Kementerian Kelautan dan Perikanan mengklaim akan melanjutkan kerja sama dengan Pusat Penelitian Pertanian Internasional Australia (Aciar) Australia untuk budidaya lobster. Kerja sama itu mencakup penelitian tentang pengembangan pakan.
"Kami akan lanjutkan dengan Aciar. Kerja sama ini sempat tertahan 5 tahun lalu," tutur Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto dalam diskusi virtual, Selasa, 14 Juli 2020.
Slamet mengatakan, pemerintah saat ini tengah menghadapi banyak tantangan untuk mengembangkan budidaya komoditas tersebut. Dari sisi pakan, kata dia, budidaya lobster masih bergantung pada pasokan benih alam dan pakan runcah. Sementara itu, pakan alternatif yang dikembangkan masyarakat diakui masih sangat kurang.
Adapun dari segi teknologi, budidaya lobster dengan dengan skala tradisional disebut memerlukan waktu yang cukup lama, yakni 9 bulan hingga 1 tahun. Sumber daya manusianya pun, kata Slamet, mesti ditingkatkan serta akses permodalannya ditambah.
Menurut Slamet, kondisi ini membuat daya saing lobster di Indonesia kalah dengan negara lain. Dibandingkan dengan Vietnam dan Taiwan, misalnya, pasar Tanah Air masih tertinggal lantaran secara geografis pusat perdagangan lobster di dalam negeri jauh dari tempat budidaya.
"Sistem usaha budidaya juga belum terintegrasi dari hulu ke hilir," ucapnya.
Adapun Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan produksi budidaya lobster sepanjang lima tahun mendatang bakal meningkat mencapai tujuh kali lipat dari tahun ini. Pada 2024, target produksi komoditas itu didorong menyentuh 7.220 ton.
Sedangkan pada 2020, pemerintah menetapkan proyeksi hasil budidaya lobster sebesar 1.377 ton. Jumlah itu diharapkan akan terus mengalami kenaikan. Pada 2021, misalnya, pemerintah menetapkan target sebesar 2.369 ton. Kemudian pada 2022 diperkirakan meningkat menjadi 4.205 ton dan 2023 sebesar 4.965 ton.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA