TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani memaparkan dampak pandemi virus corona Covid-19 terhadap sektor perhotelan, restoran hingga sektor lainnya yang terkait pariwisata. Jika dikalkulasikan dari hasil pemaparannya, total kerugian yang dialami sektor ini mencapai Rp 85,7 triliun.
"Kerugiannya untuk sektor hotel itu adalah Rp 30 triliun, dan restoran itu Rp 40 triliun sampai dengan April yang lalu. Lalu, kerugian untuk maskapai penerbangan US$ 812 juta (setara Rp 11,7 triliun/kurs Rp 14.460) dan untuk tour operator itu adalah Rp 4 triliun," kata Hariyadi saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi X DPR RI secara virtual, Selasa 13 Juli 2020.
Selama pandemi, kata Hariyadi, ada sebanyak 2.000 hotel yang menyatakan tutup operasional dan 8.000 restoran yang alami kejadian serupa. Namun ia berharap kondisi itu tak berlangsung lama. Dia juga berharap hotel dan restoran mulai beroperasi secara bertahap pada pertengahan Juni 2020.
Akibat tutupnya sejumlah wilayah, kata Hariyadi, kunjungan wisatawan turun drastis. Berdasarkan catatan World Tourism Organization, penurunan turis itu mencapai 44 persen dibandingkan tahun lalu secara global. Hal itu pun mengakibatkan kerugian bagi seluruh sektor di industri pariwisata.
Hariyadi mengatakan, selama pandemi ada sekitar 95 persen tenaga kerja di sektor pariwisata yang dirumahkan tanpa diberikan gaji. "Kalau yang di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) jumlah relatif sedikit," ujarnya.
Hal itu bukan tanpa sebab. Menurut Hariyadi, stimulus yang diberikan pemerintah kepada pengusaha pariwisata tak begitu efektif mengurangi beban biaya operasional yang sebagian besar merupakan gaji karyawan.
Baca juga:
Dia mencontohkan salah satu stimulus yang tidak efektif yakni adanya pengurangan pajak penghasilan PPh 21. Sebab, pengurangan pajak ini akan efektif diterapkan bila karyawannya mendapatkan gaji Rp 200 juta per tahun, sedangkan saat ini sebagian pekerja justru dirumahkan.
"Kalau PPh 22 bagi kami tidak begitu banyak manfaatnya karena ini adalah untuk impor dan yang menarik adalah PPh 25 ini untuk sektor pariwisata yang mayoritas 90 persen pasti bukunya mencatat kerugian jadi mestinya tidak bayar PPh 25 karena rugi," kata Hariyadi.
Lalu, untuk program Kartu Pra Kerja pun dianggap tidak efektif karena banyak karyawan yang terkena dampak justru tidak bisa mengakses program tersebut.
"Kartu Pra Kerja juga tidak efektif bagi kita karena pada kondisi seperti ini kan yang dibutuhkan adalah 100 persen jaring pengaman sosial atau bantuan langsung tunai, kartu pra kerja ini karena dibuka secara umum, karyawan yang terdampak itu tidak memiliki akses mendapatkan kartu, bahkan sekarang lagi distop," tuturnya.