TEMPO.CO, Jakarta – Penerapan batas tertinggi biaya rapid test yang menjadi syarat penerbangan tidak berdampak signifikan terhadap tingkat keterisian armada maskapai penerbangan. Merujuk Surat Edaran nomor HK.02.02/I/2875/2020 yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan, pekan lalu, tarifnya dipatok tak boleh melebihi Rp 150 ribu.
Corporate Communications Strategic Lion Air, Danang Mandala Prihartono, mengklaim layanan tes rapid yang disediakan tiga maskapai di grup perusahaannya sejak awal sudah terjangkau bagi penumpang. “Sejak awal tarif rapid maksimal kami Rp 95 ribu kok di semua rute,” ucapnya kepada Tempo, Senin 13 Juli 2020.
Menurut dia, Grup Lion Air menyediakan voucher keikutsertaan rapid bagi penumpang saat pembelian tiket. Layanan itu disediakan di 15 lokasi cabang perusahaan, berada di Jakarta, Bandung, Medan, Padang, Pekanbaru, Makassar, Kendari, Kupang, Batam, serta Solo. Danang mengakui bahwa perubahan batasan tarif belum juga mendongkrak keterisian.
“Kita harus selalu melihat kemampuan pasar airlines,” ujarnya. “Kebijakan kami sebenarnya sudah mengakomodir daya beli.”
Akhir bulan lalu, aturan perjalanan semakin dilonggarkan dengan terbitnya Surat Edaran Gugus Tugas Covid-19 Nomor 9 Tahun 2020. Beleid itu hanya sedikit mengubah substansi masa berlaku hasil tes polymerase chain reaction (PCR) yang semula tujuh hari, maupun hasil tes rapid yang semula tiga hari, menjadi empat belas hari. Namun alih-alih soal tarif, animo segmen penerbangan jarak dekat justru dianggap anjlok karena rumitnya persyaratan dokumen kesehatan yang harus dipenuhi penumpang.
Presiden Direktur Lion Air, Edward Sirait, mengatakan volume penggunaan armada dan frekuensi penerbangan tiga maskapai dalam grup perusahaannya kini masih berkisar 20-25 persen dari kapasitas normal. Di masa awal transisi pasca pembatasan, Lion Grup bahkan sempat membekukan operasi karena kesulitan mengerek penumpang, seperti pada 27-31 Mei 2020. “Semua aturan tambahan sebelum flight itu menjadi beban,” katanya.