Sebelum ada batasan tarif rapid, layanan tes rapid Lion memang tercatat yang paling murah dibandingkan maskapai lain. Garuda Indonesia mematok tarif Rp 315 ribu melalui kerjasama dengan anak usaha PT Pertamina (persero), PT Pertamina Bina Medika. Sriwijaya Air menyediakan layanan bertarif Rp 300-450 ribu. Bahkan, PT Angkasa Pura II (persero) juga sempat memasang tarif Rp 280 ribu untuk sekali uji rapid.
Sekretaris Jenderal Indonesia National Air Carriers Indonesia (INACA), Bayu Sutanto, pun tak melihat pengaruh kebijakan tarif baru. Pasalnya, dia melanjutkan, masih terdapat institusi kesehatan yang melanggar batasan tersebut. “Harus cek lapangan apakah semua sudah menerapkan biaya maksimum itu,” tuturnya kepada Tempo.
Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kementerian Kesehatan, Tri Hesty Widyastoeti, mengatakan lembaganya mematok batas tersebut agar rapid tidak dimanfaatkan untuk keuntungan pihak tertentu. Namun, dia mengakui belum mekanisme sanksi bagi rumah sakit yang melanggar ketentuan ini. “Kami belum buat peraturan soal sanksinya.”
Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra, mengatakan entitasnya juga memutuskan tidak akan mematok harga jasa tes rapid yang terlalu murah. “Kami enggak terlalu murah lah. Kami sesuaikan dengan mitra kami, tapi juga enggak amau mengambil untung,” tuturnya.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Alvin Lie, mengatakan kebijakan tarif rapid tak relevan dengan upaya antisipasi penularan Covid-19 di moda angkutan. “Ini toh hanya tes antibodi, apa gunanya? Seharusnya pemeriksaan itu dihapus saja karena malah rawan diperdagangkan.”