TEMPO.CO, Jakarta - Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat banyak fintech peer to peer lending yang telah diblokir lantaran tak memiliki izin atau ilegal. Kebanyakan entitas tak resmi itu memiliki server pengendali sistem dari luar negeri seperti di Amerika atau Cina. Sehingga dicurigai mempunyai jaringan dengan para mafia internasional.
"Kegiatan ini kalau bisa kita katakan adalah mafia. Ada mafia Rusia, ada mafia India dan seperti itu untuk mencari keuntungan yang besar dari masyarakat," kata Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L. Tobing dalam diskusi daring, Senin, 13 Juli 2020.
Berdasarkan catatannya, sepanjang bulan Juni 2020, Satgas berhasil menemukan 105 Fintech P2P Lending ilegal yang menawarkan pinjaman ke masyarakat melalui aplikasi dan pesan singkat di telepon genggam. Sementara itu total Fintech P2P Lending ilegal yang telah ditangani SWI sejak tahun 2018 sebanyak 2.591 entitas.
Adapun pelaku fintech ilegal disebut telah memanfaatkan masa pandemi untuk mencari calon nasabah. Apalagi di masa sulit, banyak warga yang membutuhkan dana segar untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya sehari-hari.
Dalam melancarkan aksi, kata Tongam, fintech lending ilegal rata-rata masih menggunakan modus lama, yakni menawarkan kemuduhan pinjaman melalui aplikasi atau media sosial.
Menurutnya, setelah entitas tak resmi memperoleh calon mangsa, pelaku fintech abal-abal ini akan meminta seluruh kontak telepon seluler milik calon nasabah dan data pribadi. Data tersebut tidak segan-segan dibocorkan fintech ilegal saat masa pembayaran utang pinjaman online lewat jatuh tempo.
Peer to peer lending ilegal, kata Tongam, sangat berbahaya karena mereka bisa mendapatkan data. "Harus hati-hati melakukan pinjaman terhadap platform ilegal. Kalau tak dapat pengembalian uang mereka dapat data untuk dijual lagi 2-3 kali lipat yang dipinjam di pasar gelap," tuturnya.