TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menjelaskan dampak kebijakan berbagi beban dengan pemerintah untuk penanganan Covid-19 terhadap neraca keuangan bank sentral. Ia tidak menampik kebijakan tersebut memberi tambahan beban terhadap neraca keuangan BI.
"Ini tentu akan mempengaruhi postur atau kondisi neraca keuangan BI. Tapi disampaikan disini bahwa BI di akhir 2019, kami mempunyai modal Rp 216 triliun," ujar Perry dalam konferensi video, Senin, 6 Juli 2020.
Perry mengatakan dengan tingginya modal Bank Indonesia dan rasio modal di atas 10 persen membuat bank sentral siap berbagi beban untuk tugas kenegaraan. Ia berujar rasio modal yang cukup memadai tersebut tidak akan mempengaruhi cara BI merumuskan dan merespon kebijakan moneter.
"Kami tegaskan bahwa memang ada impilikasi ini terhadap neraca keuangan BI, karena adanya extraordinary condition, tapi modal kami cukup kuat dan tidak akan mempengaruhi bagaimana BI melakukan kebijakan moneter sesuai kaidah kerangka kebijakan yang kami bangun," tutur dia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah dan Bank Indonesia sudah menyepakati skema berbagi beban dalam penanganan dampak Covid-19 di Tanah Air.
"Dengan berkembangnya penanganan Covid-19 ini pemerintah dan BI kembali merumuskan prinsip-prinsip untuk melakukan burden sharing secara baik yang tetap mengacu dan berbasis kepada kerangka kebijakan makro yang pruden dalam rangka bisa meningkatkan kapasitas BI dalam menangani Covid-19." ujar Sri Mulyani dalam konferensi video, Senin, 6 Juli 2020.
Prinsip-prinsip berbagi beban itu nanti akan dituangkan dalam surat keputusan bersama antara Kementerian Keuangan dan BI. Prinsipnya mekanisme tersebut di satu sisi akan tetap menjaga keberlangsungan fiskan dan menciptakan ruang fiskal dalam jangka menengah panjang. Di sisi lain, tetap menjaga stabilitas dan kredibilitas dari kebijakan moneter dalam menjaga nilai tukar, tingkat bunga, dan inflasi yang terkendali.
Nantinya, skema burden sharing didasarkan pada kelompok penggunaan pembiayaan untuk public goods dan non-public goods. Pembiayaan public goods yang menyangkut hajat hidup orang banyak, terdiri dari pembiayaan public goods terdiri dari pembiayaan di bidang kesehatan Rp 87,55 triliun, perlindungan sosial Rp 203,9 triliun, serta sektoral kementerian/lembaga (K/L) dan Pemda Rp 106,11 triliun.
Sedangkan pembiayaan untuk non-public goods yang menyangkut upaya pemulihan ekonomi dan dunia usaha, terdiri dari dukungan dunia usaha UMKM Rp 123,46 triliun dan Korporasi non-UMKM Rp 53,57 triliun. Sementara, belanja lain yang menyangkut insentif usaha dan belanja-belanja komitmen pemerintah adalah sebesar Rp 328,87 triliun.
Untuk pembiayaan public goods, beban akan ditanggung seluruhnya oleh BI melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) dengan mekanisme private placement dengan tingkat kupon sebesar BI reverse repo rate. Lalu, BI akan mengembalikan bunga atau imbalan yang diterima kepada pemerintah secara penuh.
Sementara itu, pembiayaan non-public goods untuk UMKM dan Korporasi non-UMKM, akan ditanggung oleh Pemerintah melalui penjualan Surat Berharga Negara kepada market dan BI berkontribusi sebesar selisih bunga pasar (market rate) dengan BI reverse repo rate 3 bulan dikurangi 1 persen persen.
Untuk pembiayaan non-public goods lainnya, beban akan ditanggung seluruhnya oleh pemerintah sebesar suku bunga pasar. Dengan demikian, pembiayaan non-public-goods tetap dilakukan melalui mekanisme pasar dan BI bertindak sebagai pembeli siaga sesuai Surat Keputusan Bersama (SKB) Pertama tanggal 16 April 2020.
CAESAR AKBAR