Menurut Poetoet, penggunaan helm sepeda bisa disesuaikan saja dengan kecepatan pengendara. Rata-rata, kata dia, kecepatan kayuhan sepeda masyarakat hanya berkisar 10-15 kilometer per jam sehingga tidak tergolong cepat. Ia mengatakan penggunaan helm menjadi wajib apabila kecepatan tinggi atau dalam kepentingan olah raga seperti cross country, down hill, dan sebagainya. "Jadi yang mengukur pakai atau tidak ya itu diri kita sendiri, bukan UU. Masak kemana-mana harus pakai helm bersepeda," ujar Poetoet.
Di samping itu, ia mengatakan harga helm sepeda yang kuat dan layak saat ini relatif masih lebih tinggi dari rata-rata helm sepeda motor. Sehingga dikhawatirkan justru membuat malas masyarakat bersepeda.
Selain itu, berdasarkan rancangan beleid pesepeda yang diterima Bike to Work, Poetoet mengatakan ada salah satu poin dalam aturan itu yang mewajibkan pemasangan sepatbor pada kendaraan gowes tersebut. Menurut Poetoet, sepatbor tidak terkait langsung dengan keselamatan, melainkan berkaitan dengan kebersihan. Sehingga, kata dia, pemasangan sepatbor mestinya tidak menjadi hal yang wajib bagi pesepeda. "Itu hanya berfungsi kalau ada genangan air, kalau hujan. Kalau jalan bagus kan tidak perlu sepatbor," ujar dia.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub, Budi Setiyadi menargetkan Peraturan Menteri Perhubungan soal pesepeda bisa rampung pada bulan ini. Ia mengatakan beleid tersebut segera difinalisasi. "Pekan ini finalisasi, saya harapkan pada pekan ketiga Juli semoga bisa dimajukan ke Pak Menteri (Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi)," ujar Budi kepada Tempo, Ahad, 5 Juli 2020.
Budi mengatakan, jajarannya telah menjaring masukan dari berbagai pihak, termasuk dari komunitas pesepeda. Banyak masukan diterima terkait beleid tersebut. Karena itu, saat ini pihaknya tengah mengkaji kembali rancangan beleid guna mengakomodasi masukan tersebut. "Banyak masukan yang harus kami akomodasi, tapi InsyaaAllah bulan ini bisa selesai," kata Budi.