Di samping itu, sejumlah kader partai diduga menjadi aktor di belakang perusahaan-perusahaan ini. Pada PT Royal Samudera Nusantara, misalnya, tercantum nama Ahmad Bahtiar Sebayang sebagai komisaris utama. Bahtiar merupakan Wakil Ketua Umum Tunas Indonesia Raya, underbouw Partai Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra. Tiga eksportir lainnya juga terafiliasi dengan partai yang sama. Ada pula nama Fahri Hamzah, mantan Wakil Ketua DPR, sebagai pemegang saham salah satu perusahaan. Muncul juga nama lain dari Partai Golkar.
Selanjutnya, tertera nama Buntaran, pegawai negeri sipil (PNS) yang dipecat pada era Menteri Susi. Dia terlibat perkara penyelundupan benih lobster dan pencucian uang sehingga divonis 10 tahun penjara.
Edhy menyangkal kebijakannya dilakukan untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu. “Sedikit pun saya tidak ingin memperkaya diri sendiri atau pihak tertentu. Saya juga tidak punya bisnis di industri perikanan dan kelautan,” katanya.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman meminta Komisi Pemberantasan Korupsi segera mengusut proses pemberian izin ekspor benih lobster. “KPK juga harus menghentikan kegiatan ekspor benih lobster setidaknya untuk sementara sambil menunggu hasil kajian yang dilakukan Tim KPK,” ujar Boyamin dalam keterangannya.
Boyamin menilai, semestinya izin ekspor bayi lobster tidak pernah dibuka karena merugikan nelayan. Musababnya, nelayan akan memperoleh nilai beli sangat kecil dan kegiatan ini hanya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu dan pemodal skala besar.
“Jika terpaksa izin ekspor benih lobster, harus diberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat dan perusahaan yang di daerah sehingga akan merata,” katanya. Ia mengimbuhkan, KPK harus memperlakukan kasus ekspor lobster seperti kajian Kartu Prakerja yang sementara disetop untuk kajian mendalam.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | MAJALAH TEMPO