TEMPO.CO, Jakarta - Jumlah perusahaan eksportir benur lobster terus bertambah semenjak Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menerbitkan aturan yang memperbolehkan praktik tersebut beberapa waktu lalu. Saat ini, jumlahnya telah mencapai 30 perusahaan.
Dinukil dari Majalah Tempo Edisi Senin, 6 Juli 2020, mereka terdiri dari atas 25 perseroan terbatas (PT), 3 persekutuan komanditer (CV), dan 2 usaha dagang (UD). Berdasarkan penelusuran Tempo, sejumlah kader partai menjadi aktor di belakang perusahaan-perusahaan eksportir benur lobster tersebut. Di PT Royal Samudera Nusantara, misalnya, tercantum nama Ahmad Bahtiar Sebayang sebagai komisaris utama.
Bahtiar tak lain adalah Wakil Ketua Umum Tunas Indonesia Raya, underbouw Partai Gerakan Indonesia Raya alias Gerindra. Dalam partai asal Menteri Edhy Prabowo ini, Bahtiar juga menjadi Kepala Departemen Koordinasi dan Pembinaan Organisasi Sayap.
Seorang pria yang bernama Ariyanto membenarkan informasi bahwa Bahtiar salah satu pemilik Royal Samudera. Bahtiar, kata dia, hanya salah satu pemodal. Pendiri dan pemilik lain adalah anggota direksi. “Termasuk saya, punya saham juga,” ujarnya. Nama Ariyanto tidak tercatat dalam akta perusahaan.
Menurut Ariyanto, Royal mengajukan diri sebagai eksportir seperti perusahaan lain, tidak ada karpet merah kendati salah satu pemiliknya terafiliasi dengan partai yang sama dengan Edhy. “Bahtiar itu siapa di Gerindra? Dia bukan petinggi,” ucapnya.
Tiga eksportir lain juga terafiliasi dengan Gerindra. PT Bima Sakti Mutiara, misalnya, hampir semua sahamnya dimiliki PT Arsari Pratama. Komisaris Bima Sakti adalah Hashim Sujono Djojohadikusumo, adik Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang juga Ketua Umum Gerindra. Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, putri Hashim, duduk sebagai direktur utama.
Saraswati mengakui Arsari Group baru kali ini menekuni usaha lobster, setelah selama 34 tahun berbisnis mutiara. Ingin berfokus menggarap sektor budi daya lobster, kata dia, perusahaan mengajukan permohonan izin sebagai eksportir pada Mei lalu.
Dia tak ambil pusing soal anggapan konflik kepentingan dalam penetapan Bima Sakti sebagai eksportir. “Tuhan tahu mana yang bener. Kalau dapat izin terus berkarya membawa nama Indonesia, what is the problem?”
Setelah Bima Sakti, ada PT Agro Industri Nasional (Agrinas). Saham perusahaan ini dikantongi oleh Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan yang berada di bawah pembinaan Kementerian Pertahanan. Namun direksi dan komisarisnya didominasi kader Gerindra.