TEMPO.CO, Jakarta – PT Hutama Karya (persero) kembali mengejar sisa target penyelesaian Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) Tol Trans Sumatera seiring pulihnya kegiatan di lingkungan proyek konstruksi. Sekretaris Perusahaan Hutama Karya, Muhammad Fauzan, mengatakan ganjalan distribusi bahan baku dan sumber daya manusia di lapangan mulai berkurang karena perpindahan ke masa transisi atau new normal.
“Kini perusahaan sedang menargetkan PPJT di lima ruas baru Trans Sumatera,” katanya kepada Tempo, Kamis 2 Juli 2020.
Kelimanya adalah Jalan Tol Betung - Jambi, Tol Jambi - Rengat, Tol Rengat - Pekanbaru, Tol Dumai – Rantau Prapat, dan menyambung ke Rantau Prapat – Kisaran. Hingga Februari lalu, Hutama sudah mengantongi 14 PPJT dari total 24 ruas sepanjang 2.765 kilometer.
Lima target PPJT baru itu termasuk dalam target 10 ruas yang sedang dikejar pengerjaannya dalam beberapa tahun ke depan.
Data Hutama Karya hingga Februari 2020 pun menunjukkan bahwa perseroan sudah dikucuri penyertaan modal negara hingga Rp 19,6 triliun untuk pengerjaan Tol Trans Sumatera pada 2015, 2016, dan pada 2019.
Perusahaan memakai Rp 11,5 triliun dari jumlah tersebut untuk mengebut pengerjaan delapan ruas, yang terbesar untuk Tol Pekanbaru-Dumai sepanjang 131 kilometer yang membutuhkan lebih dari Rp 3 triliun.
Pada tahun ini, Hutama mendapat PMN tahap pertama sebesar Rp 3,5 triliun untuk menyelesaikan sisa tol Pekanbaru tersebut, serta untuk pengembangan ruas Terbanggi Besar - Kayu Agung sepanjang 189 kilometer.
Fauzan berkata enitasnya kembali disokong PMN tahap kedua, sebear Rp 7,5 triliun, yang sepenuhnya dipakai untuk penyelesaian Tol Simpang Indralaya-Muara Enim yang membutuhkan Rp 3,2 triliun, serta untuk Tol Pekanbaru-Pangkalan sebesar Rp 4,3 triliun.
Direktur Utama PT Hutama Karya, Budi Harto, juga mendesak meminta pemerintah segera membayarkan sisa dana talangan sebesar Rp 1,88 triliun untuk mengganti pengeluaran perseroan yang selama ini dipakai untuk keperluan pembebasan lahan. “Sehingga bisa digunakan untuk mempercepat pembangunan,” katanya di Dewan Perwakilan Rakyat, Senayan, Rabu lalu.
Budi menjelaskan bahwa piutang dana talangan yang belum dibayar ke Hutama Karya itu berasal dari biaya pembebasan lahan sebesar Rp 8,01 triliun sejak 2016 hingga tahun ini, semengara jumlah yang dibayarkan pemerintah baru senilai Rp 6,13 triliun.
Untuk mengejar kebutuhan tersebut, dia melanjutkan, perseroan harus menanggung cost of fund hingga Rp 959 miliar. "Tapi, hanya mendapatkan penggantian (dari pemerintah) sebesar Rp 466 miliar, kami masih tekor Rp 493 miliar," ucapnya.
Kepala Riset Praus Capital, Alfred Nainggolan, mengatakan beban keuangan Hutama Karya lebih mudah diselesaikan sebagai perusahaan yang murni dimiliki pemerintah. “Tapi karena terlalu bergantung pada negara, proyek mereka sulit mendapat pendanaan dengan mekanisme pasar,” kata dia. “Sulit mencari pinjaman asing atau ke swasta berat, padahal banyak penugasan.”
EKO WAHYUDI | YOHANES PASKALIS