TEMPO.CO, Jakarta - PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI menyebut telah berhasil melakukan renegosiasi suku bunga dengan seluruh perbankan yang memberi pinjaman pada perusahaan. Hasilnya negosiasi itu berujung kata sepakat untuk merelaksasi beban utang yang ditanggung perseroan pada tahun 2020
“Jadi untuk angsuran bulan April sampai Desember 2020 kami diberikan relaksasi, direstrukturisasi sampai dengan Maret 2021, untuk mengurangi beban karena ada penurunan pendapatan,” kata Direktur Utama PT KAI Didiek Hartantyo dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VI DPR-RI, Selasa 30 Juni 2020.
KAI sebelumnya mengantongi utang senilai Rp 15,5 triliun. Utang itu terdiri dari kredit modal kerja atau kredit pendek senilai Rp 1,5 triliun. Kemudian Rp4 triliun merupakan obligasi, dan sisanya Rp10 triliun adalah kredit investasi.
Pada kesempatan yang lain Didiek mengungkapkan, utang yang berhasil direstrukturisasi merupakan kredit untuk kebutuhan investasi. Oleh karenanya, utang KAI yang masih berjalan seperti biasa atau belum direstrukturisasi bernilai Rp5,5 triliun. "Hanya KI (kredit investasi) yang mendapatkan relaksasi, tidak termasuk kredit modal kerja," ucapnya.
Meski demikian, Didiek menyatakan perseroan masih mempunyai beban lain juga yang ternyata belum direstrukturisasi. Dia menyebutkan masih ada pinjaman senilai US$ 48 juta atau Rp 686 miliar (kurs :Rp 14.300) dari ECA dari US Exim (Bank Ekspor-impor Amerika Serikat) per akhir Mei 2020.
Selain itu, Didiek mengatakan, KAI saat ini juga sedang mengevaluasi kembali semua kontrak-kontrak dengan para mitra untuk optimalisai aset. “Banyak memang permasalahan yang kami hadapai dan banyak perjanjian yang unfair,” ucapnya.
Dia memastikan, KAI akan menata kembali dalam basis yang lebih baik dan adil. Dalam renegosiasi kontrak, kata Didiek, perseroan, akan menggunakan konsultan yang independen, kredibel, dan diakui keandalannya. “Ini yang akan menjadi dasar perhitungan bisnis ke depan,” ujarnya.
PT KAI saat ini juga menjadi salah satu perusahaan pelat merah yang menerima dukungan pemerintah yang masuk dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Nilainya mencapai Rp3,5 triliun sebagai dana talangan untuk menambah kredit modal kerja.
Dana talangan ini diberikan dengan tetap memberlakukan beban bunga dan skemanya harus dikembalikan, berbeda dengan Penyertaan Modal Negara (PMN) yang biasa diberikan dari pemerintah kepada BUMN.