TEMPO.CO, Jakarta - Tahun 2020 ini, ekspor batu bara ditargetkan mencapai 400 juta ton. Namun, sampai 31 Mei 2020, baru 175,15 juta ton yang terealisasi. Jumlah ini bahkan 10 persen lebih rendah dari capaian tahun lalu.
Di sisi lain, nilai ekspor pun ikut turun karena harganya yang juga tertekan. Nilai ekspor untuk 175,15 juta ton ini hanya sebesar US$ 7,7 miliar, 18 persen lebih rendah dari tahun 2019.
"Ini menjadi pekerjaan rumah kami," kata Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu Bara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sujatmiko dalam diskusi virtual di Jakarta, Selasa, 30 Juni 2020.
Agar ekspor tidak semakin tertekan, kini pemerintah intensif menjalin kontak dengan negara pasar baru, yang selama ini belum dimasuki batu bara Indonesia. Negara pasar baru itu si antaranya Bangladesh, Vietnam, Pakistan, serta Brunei Darussalam. Menurut Sujatmiko, Brunei ternyata di masa silam pernah mengimpor batu bara dari Indonesia, namun kini tidak lagi.
Selain menggarap pasar baru, untuk menggenjot ekspor, produksi batu bara nasional pun perlu dijaga. Adapun target produksi batu bara tahun ini 550 juta ton. Per 31 Mei 2020, baru tercapai 228 juta ton.
Agar produksi tetap berjalan normal, Kementerian ESDM sudah mengirim surat edaran kepada para penambang batu bara untuk kembali beroperasi. Tujuannya agar produksi tetap berlanjut, sekaligus tetap menjaga kondisi dan kesehatan karyawan penambang.
Redupnya kinerja ekspor batu bara sendiri telah memicu merosotnya Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor mineral dan batu bara akhirnya. Padahal, selama ini PNBP minerba adalah salah satu tulang punggung pendapatan negara. Sampai 31 Mei 2020, baru terkumpul Rp 14,55 triliun, dari target Rp 35,93 triliun.
Dampak sudah terlihat pada realisasi pendapatan negara yang diumumkan Menteri keuangan Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu lalu. Pendepatan negara turun 9,02 persen year-on-year (yoy), menjadi Rp 664,32 triliun per akhir Mei 2020. Penurunan terjadi saat kebutuhan anggaran kian membengkak untuk penanganan Covid-19.