TEMPO.CO, Jakarta - PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI mengungkapkan bahwa pemerintah masih mempunyai utang senilai Rp 257,87 miliar dalam penugasan perseroan menyelenggarakan public service obligation (PSO). Adapun dalam kontrak keduanya pemerintah memberikan subsidi atas selisih tarif tiket keekonomian pada kereta kelas ekonomi, dan kereta rel listrik (KRL).
Direktur Utama KAI Didiek Hartantyo merinci utang tersebut merupakan kekurangan bayar selama tiga tahun belakangan ini. "Jadi untuk tahun 2015, yang sudah dilakukan audit di tahun 2016 berdasarkan LHP Nomor 34 tanggal 21 Agustus 2016, maka pemerintah dinyatakan kurang bayar Rp 108 miliar," ujar Didiek kepada anggota Komisi VI DPR RI, Selasa, 30 Juni 2020.
Lalu untuk utang 2016, sesuai dengan LHP BPK 2016, pemerintah tercatat berutang Rp 2,2 miliar. Sementara untuk tahun 2019, sesuai BA BPK 2019, pemerintah berutang Rp 147,38 miliar.
Dalam penentuan tiket keekonomian kereta api, Didiek menuturkan, telah memasukkan biaya operasi perseroan ditambah margin 10 persen. Sementara besaran tarif subsidi adalah kewenangan pemerintah dalam hal ini Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan.
"Sehingga selisihnya ini menjadi konsen PSO. Kami berunding melakukan pertemuan Dirjen KA terkait volume tahun mendatang tumbuh berapa persen lalu biaya operasi yang direncanakan sesuai RKAP," kata Didiek.
Didiek berharap, pemerintah bisa membayarkan sisa kekurangan pembayaran utang kepada perseroan. Pasalnya, pencairan itu bisa membantu likuiditas dalam menghadapi pandemi Covid-19.
"Kemudian memberikan keyakinan baru masyarakat dan mitra akan kepastian agar meningkatkan kepercayaan. Kami harapkan semoga apa yang kami sampaikan bisa dilaksanakan," ucap dia.
EKO WAHYUDI