TEMPO.CO, Jakarta - Upaya pemerintah menggenjot minat bepergian dan pariwisata melalui pelonggaran waktu berlakunya hasil tes cepat (rapid test) dan polymerase chain reaction (PCR) hingga 14 hari masih terganjal daya beli masyarakat yang lesu. Akibatnya, frekuensi penerbangan pun belum banyak terdongkrak oleh kebijakan terbaru ini.
Pemerhati penerbangan sekaligus anggota Ombudsman, Alvin Lie, mengatakan bahwa minat para wisatawan untuk bepergian memang masih minim. Dari sisi demografi, pengguna jasa transportasi udara mayoritas atau sebesar 70 persen di antaranya adalah TNI/ASN/Polri, hingga BUMN untuk urusan kedinasan.
Di luar kelompok itu masih terdapat penumpang pebisnis, tetapi aktivitas bisnis juga masih suram. Sisanya sekitar 10 persen murni penumpang dengan tujuan wisata.
“Bukan hanya perkara persyaratan rapid test atau PCR. Namun daya beli belum ada. Kebutuhan traveling juga belum ada. Kalaupun menggenjot pariwisata naiknya cuma seberapa. Kebanyakan orang juga masih takut untuk bepergian,” katanya, Senin 29 Juni 2020.
Sebelumnya, Jaringan Penerbangan Indonesia (Japri) memprediksi pemulihan industri penerbangan semestinya bisa berjalan selama tiga bulan setelah pandemi berakhir. Namun, sampai saat ini belum dapat diketahui secara pasti kapan pandemi akan berakhir.
Pengamat penerbangan dari Japri Gerry Soejatman mengatakan, saat ini masa pemulihan industri penerbangan memang bergantung pada berakhirnya pandemi. Namun, sejumlah ahli memprediksikan pandemi baru akan berakhir dua sampai tiga tahun mendatang.