TEMPO.CO, Jakarta - Staf Khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, Arya Sinulingga, mengatakan penunjukkan komisaris perusahaan pelat merah sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Pernyataan Arya menjawab sorotan Ombudsman mengenai banyaknya komisaris BUMN yang rangkap jabatan dengan posisi di kementerian atau lembaga instansi pemerintah.
"Itu sudah sesuai aturan. Dan ini sdh terjadi sejak pemerintah memiliki badan usaha," ujar Arya kepada Tempo, Ahad, 28 Juni 2020. Ia pun mengaku bingung dengan pernyataan Ombudsman ihwal adanya rangkap jabatan tersebut.
Menurut Arya, komisaris bukanlah jabatan struktural maupun jabatan fungsional. Sehingga pejabat pemerintahan yang menjabat komisaris tidak pindah unit kerja karena posisi tersebut. "Lalu dimana rangkap jabatannya?" kata dia.
Selain itu, ia mengatakan saham BUMN sejatinya dimiliki oleh pemerintah. Sehingga ia mengatakan yang mewakili pemerintah sebagai pemegang saham dalam posisi pemerintah harus berasal dari unsur pemerintahan dan bukan dari luar.
"Kalau unsur luar namanya Komisaris Independen. Jadi apakah mungkin bukan unsur pemerintah mewakili pemerintah yg merupakan pemegang saham mayoritas?" ujar Arya. Perkara sama juga berlaku untuk anak usaha BUMN lantaran sahamnya dimiliki oleh BUMN.
Arya juga menjawab kritik soal adanya rangkap penghasilan antara pejabat pemerintah dengan komisaris BUMN dalam perkara ini. Menurut dia, penghasilan yang diterima komisaris berbentuk honorarium dan bukan gaji. "Dan ASN juga kalau menempati posisi-posisi tertentu diberikan honorarium," tutur dia.
Sebelumnya, anggota Ombudsman Alamsyah Saragih menuturkan, berdasarkan data tahun 2019, komisaris terindikasi rangkap jabatan tercatat mencapai 397 orang di BUMN dan 167 orang pada anak perusahaan. "Mayoritas komisaris ditempatkan di BUMN yang tidak memberikan pendapatan signifikan, bahkan beberapa merugi," ujar Alamsyah.
Ombudsman mencatat komisaris asal kementerian terindikasi rangkap jabatan tercatat mencapai 64 persen atay 254 orang dari total komisaris di perusahaan pelat merah pada 2019.
Selain itu, komisaris asal lembaga non kementerian ada 112 orang atau 28 persen. Sedangkan, komisaris BUMN yang berasal dari kalangan akademikus atau perguruan tinggi dan terindikasi rangkap jabatan berjumlah 31 orang atau 8 persen.
"Kami juga pernah persoalkan rapat pengambilan ini, di sini kami mendapatkan masih ada yang rangkap jabatan ini rangkap penghasilan. Ini berbahaya dan kalau dibiarkan terus, makin hari konflik kepentingan ini makin besar," ujar Alamsyah.
Alamsyah mengatakan kalau kondisi yang berbenturan dengan regulasi ini terus dibiarkan, maka akan terjadi suatu ketidakpastian dalam rekrutmen, pengabaian etika dan konflik kepentingan. "Serta hal-hal yang sifatnya diskriminatif dan akuntabilitas yang buruk dari proses rekruitmen itu."
Menurut dia, rangkap jabatan komisaris di BUMN ini akan memperburuk tata kelola dan mengganggu pelayanan publik yang diselenggarakan perseroan. Sehingga, kalau hal yang sifatnya etik, akuntabilitas, penghasilan ganda itu dibiarkan, maka akan membuat kepercayaan publik terhadap BUMN menjadi buruk.
CAESAR AKBAR