TEMPO.CO, Jakarta - BPJS Kesehatan membangun siklus pencegahan dan deteksi kecurangan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Salah satunya dengan mengembangkan sistem teknologi informasi yang dapat mendeteksi berbagai indikasi potensi kecurangan.
"Tidak dapat dipungkiri, kompleksitas program dan dana biaya manfaat yang besar dalam JKN berpotensi menyebabkan terjadinya tindakan inefisiensi atau mengarah pada kecurangan," kata Direktur Pengawasan, Pemeriksaan, dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan, Bayu Wahyudi dalam keterangan resmi di Jakarta, Sabtu, 20 Juni 2020.
Sebelumnya, kecurangan atau fraud yang terjadi dalam program JKN dinilai menjadi salah satu sumber defisit menahun di BPJS Kesehatan. Akan tetapi, sejak tahun lalu Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan fraud yang terjadi hanya 1 persen. Menurut dia, defisit lebih disebabkan besaran iuran yang di bawah angka aktuaria dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).
Adapun sumber indikasi kecurangan dalam sistem ini beragam. Mulai dari hasil audit klaim, analisis data review pemanfaatan, dan laporan whistleblower.
Selanjutnya, BPJS membentuk unit kerja bidang Manajemen Utilisasi dan Anti Fraud lalu membentuk Tim Pencegahan Kecurangan di seluruh cadang di seluruh Indonesia. BPJS pun mendorong dinas dan fasilitas kesehatan di daerah membentuk tim pencegahan kecurangan seperti ini.
Selain itu, ada Tim Bersama Penanganan Kecurangan JKN. Tim ini sudah dibentuk sejak 2017. Anggotanya dari BPJS Kesehatan, Kementerian Kesehatan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Serangkaian sistem ini kemudian yang akan menghasilkan tindakan atas kecurangan. Contohnya pada pembayaran klaim rumah sakit. Klaim tidak akan dibayar apabila ada tindakan kecurangan. Sebaliknya jika ada kelebihan pembayaran klaim, maka akan dikembalikan atau diperhitungkan untuk tagihan berikutnya.
FAJAR PEBRIANTO